22 Desember 2011

Memaknai Kembali Pengakuan atas Hak Atas Kekayaan Intelektual Komoditi Khas NTB

Oleh: Julmansyah (Peminat masalah pembangunan dan ekologi sosial serta) Fasilitator Jaringan Madu Hutan Sumbawa –JMHS) http://www.suarantb.com/2011/12/22/index.html (opini, kamis 22 Desember 2011)
Salah satu kado strategis nan istimewah namun rendah apresiasi di ulang tahun NTB ke 53 yakni pengakuan dan pemberian hak atas kekayaan intelektual (HAKI) Indikasi Geografis (IG) Madu Sumbawa, Kangkung Lombok dan Susu Kuda Sumbawa. Mengapa strategis dan istimewah karena melalui perangkat hukum ini, icon NTB mendapat perlindungan dari potensi pembajakan atas produk indikasi geografis, oleh berbagai produsen besar. Cukup banyak fakta dan praktek bagaimana pembajakan komoditi lokal masyarakat yang telah mengalami seleksi alami, di bajak menjadi merek dagang maupun paten. Pada akhirnya masyarakatlah yang akan menanggung kerugian akibat kompetisi perdagangan, akbat kelalian pemerintah, kelompok masyarakat tidak segera melindungi produki/komoditi yang ada. Dalam catatan Dirjen HAKI KemenkumHAM, pemohon HAKI Indikasi Geografis untuk Madu Sumbawa yakni Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS), Susu Kuda Sumbawa yakni Asosiasi Pengembangan Susu Kuda Sumbawa Desa Saneo Dompu dan Kangkung Lombok yakni Asosiasi Komoditas Kangkung Lombok. Penyerahan HAKI IG tiga komoditi khas NTB tersebut diserahkan oleh Direktur HAKI KemenkumHAM kepada Gubernur NTB pada saat upacara HUT NTB ke 53 di Sumbawa Besar. Penyerahan HAKI ini memiliki nilai yang sangat penting bagi kelompok/asosiasi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada tata niaga komoditi khas tersebut. Karena mereka dapat membentuk mekanisme diri (perlindungan) agar komoditi yang dihasilkan oleh kondisi geografis NTB ini tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Tak jarang misalnya label Madu Sumbawa, akan tetapi madu dapat berasal dari daerah lain bahkan palsu. Hak Atas Kekayaan Intelektual Hak atas kekayaan intelektual/HAKI (Intellectual Property Right/IPR) merupakan bagian dan implikasi dari perjanjian TRIPs WTO (World Trade Organization). Indonesia adalah salah satu negara yang pada tanggal 15 April 1994 turut menandatangani persetujuan ini dan persetujuan ini disahkan dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization. Tulisan ini tidak untuk memperdebatkan mengapa Indonesia menerima WTO, akan tetapi ingin meletakkan posisi atas berbagai pengakuan karya masyarakat selama ini. Masih terdapat kekeliruan pemahaman atas Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Misalnya penyerahan HAKI Indikasi Geografis Kangkung Lombok, Madu Sumbawa dan Susu Kuda Bima, masih dianggap sebagai pemberian Paten. Padahal yang diserahkan bukanlah Paten akan tetapi Indikasi Geografis (IG). Hak atas Kekayaan Intelektual terdiri dari Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Hak Cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2002. Dimana hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan. Misalnya karya sinematografi dan program komputer. Paten diatur dalam Undang-undang Nomot 14 Tahun 2001. Paten merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan pada pihak lain. Sementara Merek dan Indikasi Geografis diatur secara bersamaan dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Lebih rinci HAKI Indikasi Geografis diatur kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007. Apa itu Indikasi Geografis Indikasi geografi adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Madu Sumbawa, Susu Kuda Sumbawa serta Kangkung Lombok merupakan hasil dari kondisi geografis yang tidak bisa ditiru oleh pihak manapun. Apalagi Madu Sumbawa telah menjadi icon sekaligus telah tertanam dalam benak masyarakat, kalau madu Sumbawa merupakan jaminan untuk madu dengan kualitas baik. Kita dengan mudah menemukan di pasar berbagai kemasan madu Sumbawa. Disinilah posisi pentingnya HAKI Indikasi Geografis untuk melindungi komoditi masyarakat NTB. Langkah ini sebagai bentuk antisipasi terhadap penetrasi berbagai modal-modal asing yang dapat mencuri berbagai genetika lokal Indonesia. Indonesia merupakan Negara megadeversity dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee, lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Pendaftaran “Gayo Mountain Coffee” CTM No.001242965 sebagai merek dagang di Eropa (yang sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai merek) telah memicu pemilik merek yang juga eksportir kopi untuk melakukan persaingan curang, dengan melakukan pelarangan terhadap salah satu eksportir kopi Indonesia. Cv Arvis Sanada salah satu perusahaan eksportir kopi arabika asal Gayo Aceh dilarang mengeksport kopi ke daratan Eropa dengan menggunakan kata Gayo dalam kemasannya, padahal biji kopi tersebut memang berasal dari Gayo Aceh. Demikian pula yang terjadi dengan kopi Toraja dimana Key Coffee Inc. Corporation dari Jepang mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Sehingga hal tersebut bisa berakibat sama sebagaimana hal yang terjadi di Eropa. Haruskah kita menunggu pihak lain yang akan mendaftarakan merek, meng-IG-kan berbagai kekayaan yang kita miliki? Seperti halnya Kopi Gayo atau Kopi Toraja dll?. HAKI Indikasi Geografis (IG) Madu Sumbawa setara dengan hak paten, merek dagang serta hak cipta, sehingga memiliki payung dan landasan hukum yang jelas. Bagi JMHS kepemilikan Hak Atas Kekayaan Intelektual terhadap kekayaan alam berupa madu Sumbawa, merupakan salah satu bentuk atas kedaulatan atas tanah, air serta kekayaan alam. Dengan HAKI ini maka petani madu yang tergabung dalam JMHS menjadi pemegang saham (share holders) atas kekayaan satu ini bahkan menjadi pemegang golden share. JMHS juga masih terus belajar (community learning), belajar mengorganisir diri sendiri (self organaizing), belajar meregulasi diri sendiri (self regulating), agar menjadi pemegang hak yang baik. Hak Atas Kekayaan Intelektual IG Madu Sumbawa bukan akhir dari kerja-kerja akar rumput minimal kita sudah bisa melindungi (proteksi) aset yang berharga dari masyarakat NTB. Akan tetapi tantangannya bagaimana menegakkan hak ini kedepan agar produk-produk ini tidak banyak dipalsukan, “dicuri” dan masyarakat pemilik hak mendapat manfaat yang lebih baik.