21 Juli 2012

Menuju Kerjasama Energi Antar Daerah di NTB

Oleh Julmansyah (Ketua Forum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Indonesia dan Kepala KPH Model KPHP Batulanteh Sumbawa NTB) (di muat di Opini Harian Suara NTB, Kamis 19 Juli 2012, http://www.suarantb.com/2012/07/19/Sosial/detil5%201.html)
Otonomi daerah telah memberikan ruang bagi tumbuhnya kerjasama antar daerah. Akan tetapi tidak banyak rekam jejak terjadinya kerjasama antar daerah dalam satu provinsi. Justru hubungan antar daerah banyak diwarnai dengan perebutan sumberdaya alam, konflik tata batas daerah serta perebutan aset daerah. Sekalipun dalam konteks NTB telah ada beberapa kelembagaan yang memfasilitasi tumbuhnya kerjasama antar daerah, Sebut saja misalnya Management Regional Pulau Sumbawa yang sekretariatnya di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Akan tetapi kelembagaan tersebut belum juga mampu memainkan perannya yang nyata sehingga tumbuh kerjasama antar daerah, khususnya di Pulau Sumbawa. Tulisan ini hendak menawarkan dan menindaklanjuti gagasan yang disampaikan oleh Bupati Sumbawa Drs. H. Jamaluddin Malik pada Rapat Koordinasi (Rakor) Gubernur dan Bupati/Wali Kota se Provinsi Nusa Tenggara Barat, 19 Juni 2012 di Sumbawa Besar. Secara ringkas gagasan Bupati Sumbawa tersebut yakni ingin coba membangun konektivitas potensi dan peluang antar daerah, yakni antara Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa. Bahkan gagasan ini selanjutnya menjadi kesimpulan ke-8 dari hasil Rakor dan sekaligus sebagai instruksi Gubernur NTB kepada SKPD terkait. Hingga hari ini telah genap satu bulan instruksi Gubernur yang menjadi kesimpulan Rakor di Sumbawa. Dan tulisan ini sekaligus mengingatkan akan pentingnya instruksi Gubernur NTB. Gagasan konektivitas yang disampaikan Bupati Sumbawa yakni membangun kerjasama antara Kabupaten Sumbawa dan Lombok Timur dalam rangka menyelamatkan agribisnis tembakau. Dimana untuk menyalakan 14 ribu oven tembakau di Pulau Lombok dengan bahan bakar kayu, diperlukan supply bahan baku yang kontinu. Oleh Bupati Sumbawa, ingin coba adanya konektivitas antar daerah, dimana Sumbawa memiliki hutan produksi di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model KPHP Batulanteh, dapat didorong menjadi penyedia (provider) bahan baku kayu bakar untuk omprongan tebakau tersebut. Hal ini menjadi kesimpulan khusus dan meminta Dinas Kehutanan Provinsi NTB untuk menindaklanjutinya. Gagasan Kerjasama Energi Antar Daerah Saat ini kita dihadapkan dengan kondisi cadangan sumber daya energi tak terbarukan yang terbatas. Sehingga diperlukan adanya kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin. Untuk itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2012 menyampaikan kebijakan mengenai Gerakan Nasional Penghematan Energi. Salah satu pelarangannya yakni pelarangan BBM bersubsidi untuk perkebunan dan pertambangan. Bagi sebagian industri yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) tentu ini merupakan kebijakan yang tidak popular. Akan tetapi kita harus menghadapinya dan melakukan perubahan pola dan jenis konsumsi bahan bakar minyak. Salah satu usaha industri yang terkena dampaknya sejak 2010 lalu yakni oven tembakau di Pulau Lombok. Implementasi di level daerah, khususnya di usaha oven tembakau di NTB, telah dilakukan substitusi bahan baku oven tembakau dari minyak tanah bersubsidi diganti dengan batubara serta kayu bakar. Produksi tembakau dari agribisnis ini mampu menghasilkan 40.000 – 50.000 ton/tahun daun kering dengan luas tanaman + 22.000 hektar. Melibatkan + 14.000 unit pengeringan (oven) dan + 140.000 tenaga kerja yang berarti menghidupi sekitar 700.000 jiwa (16% dari jumlah penduduk NTB). Produksi Tembakau Virginia asap kering di Pulau Lombok tersebut menyumbang 66% terhadap produksi Tembakau Virgina nasional dengan nilai devisa Rp. 1,2 triliun per tahun. Pengeringan Tembakau Virginia di Pulau Lombok membutuhkan 50.000 – 60.000 kilo liter (kl) minyak tanah per tahun, Sebuah angka konsumsi yang cukup besar. Kini bahan baku oven tembakau tersebut telah menggunakan kayu bakar. Dihapuskannya subsidi dan dikuranginya jatah minyak tanah dapat mengancam usaha Tembakau Virginia kering. Kenyataan ini menunjukkan setelah dikurangi jatah minyak tanah bersubsidi, sebagian petani Tembakau Virginia Pulau Lombok beralih ke kayu bakar karena jauh lebih murah. Maka kebutuhan kayu bakar NTB akan naik secara signifikan. Kebutuhan kayu bakar untuk oven Tembakau Virginia di Pulau Lombok di masa mendatang diperkirakan 64.000 truk per tahun. Sebuah angka yang kita mesti pikirkan dampak terhadap hutan dan lahan jika tidak dikelola secara lestari. Sisi lain dari agribisnis ini pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mendapat dana bagi hasil cukai hasil Tembakau (DBHCHT) kurang lebih 130 miliar/tahun. Jika agribisnis ini lumpuh akibat tidak kontinu-nya bahan bakar kayu, maka dampaknya terhadap pengangguran, pendapatan masyarakat serta daerah akan lebih besar. Disinilah letak posisi strategis kerjasama energi antar daerah. Dimana daerah yang memiliki potensi kawasan hutan/lahan dapat menjadi suppliyer atau penyedia kayu ke daerah pengguna kayu. Dalam konteks ini Kabupaten Sumbawa dapat menjadi daerah penyedia dan Lombok Timur sebagai pengguna, dengan memaksimalkan dan memanfaatkan keberadaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Dalam hal ini KPHP Batulanteh di Kabupaten Sumbawa. Inilah peluang kerjasama antar daerah, dimana sumbawa memiliki KPHP Batulanteh dengan luas + 32.776 (tiga puluh dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam) hektar. Luasan ini terdapat hutan produksi terbatas 14.842 hektar dan hutan produksi tetap 3.631 hektar. Luas hutan produksi ini dapat menjadi satu unit manjemen pengelolaan hutan lestari oleh KPHP Batulanteh yang siap men-supply kayu bakar untuk oven tembakau di Pulau Lombok. Peluang Tumbuhnya Kerjasama KPHP Batulanteh merupakan KPH model yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.342/Menhut-II/2011 tertanggal 28 Juni 2011. KPHP Batulanteh memiliki luas hutan produksi dengan kondisi kritis/semak belukar sekitar 9 ribu ha. Potensi kawasan hutan produksi ini, dapat menjadi peluang agar KPH yang merupakan perangkat organisasi daerah dapat berperan menjadi pengelola hutan sesungguhnya. Jika KPH menjadi pengelola hutan, maka daerah akan mendapat pendapatan daerah secara langsung, selain pemerintah pusat mendapatkan dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Jika areal tersebut diserahkan kepada HTI (perusahaan), maka proses pengurusannya sangat lama (bisa 2-3 tahun) dan daerah tidak mendapat pendapatan langsung, kerena negara hanya mendapat skema dana reboisasi (DR) dan provisi sumber daya hutan (PSDH). Sesuai dengan peraturan pemerintah pasal 21 pp 6 tahun 2001 jo pp no 3 tahun 2008 KPHP Batulanteh sebagai perangkat daerah bisa mengelola hutan, dimana KPH dapat ditugasi oleh Menteri Kehutanan untuk mengelola wilayah tertentu. Sampai saat ini wilayah tertentu ini belum tersedia konsep di Kementerian Kehutanan. Konsep wilayah tertentu ini dimaksudkan untuk dalam rangka pengembangan KPH kedepan dan ini merupakan diskresi bagi menteri kehutanan. Agar konsep kerjasama ini bisa berjalan dan argroindustri tembakau di Pulau Lombok bisa kontinu maka konsep ini harus mendapat perhatian Menteri Kehutanan. Untuk itu maka Gubernur NTB bersama Bupati Sumbawa dan Bupati Lombok Timur bersama-sama menyapaikan usulan ini. Jika Menteri Kehutanan dapat menerbitkan SK pengelolan untuk wilayah KPHP, maka selanjutnya KPHP Batulanteh bersama perusahaan Tembakau melalui skema kerjasama membangun unit hutan tanaman secara lestari untuk men-supply bahan baku kayu bakar bagi 14.000 unit oven tembakau di Pulau Lombok. Penutup Gagasan ini sesungguhnya dapat menjadi inovasi daerah dalam rangka menyambut gagasan yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di KTT Rio +20 beberapa waktu yang lalu. SBY menyampaikan tentang ekonomi Hijau (green economi) sekaligus menjadi konsensus global. Implementasi ekonomi hijau ala NTB yakni satu sisi pengurangan bahan bakar fosil sisi lain membangun unit hutan secara lestari. Dampaknya masyarakat agribisnis tembakau di Lombok Timur dan masyarakat pinggiran hutan di Sumbawa menjadi lebih baik. Inilah sejatinya kerja-kerja pemerintah kedepan, sekaligus membuktikan bahwa masyarakat daerah bisa mengelola hutan.

31 Maret 2012

Kesatuan Pengelolaan Hutan: Kembali ke Jalan yang Benar Pengelolaan Hutan di Daerah

Sumbawa 19 Maret 2012 lalu, dilaksanakan Konsultasi Publik Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batulanteh. Konsultasi Publik ini mengangkat tema Optimalisasi sumberdaya hutan untuk pendapatan daerah dan masyarakat melalui perkuatan kelembagaan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) di kabupaten sumbawa. Merupakan kerjasama Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa dengan WWF Indonesia Nusa Tenggara Program. Kegiatan ini dengan narasumber perwakilan dari Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan dan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Provinsi daerah Istimewah Yogyakarta (DIY).
Konsultasi ini merupakan saran untuk menampung saran, masukan dan usulan stakeholders terkait dengan keberadaan hutan di wilayah Batulanteh. Menurut Wakil Bupati Sumbawa Drs. H. Arasy Muhkan dalam sambutan pada acara ini, dikatakan bahwa kawasan KPH Batulanteh merupakan sumber air bagi wilayah Kota Sumbawa Besar dan kecamatan sekitarnya. Sehingga pengelolaan hutan di Batulanteh ini menjadi penting dan strategis. Menurut Wabub, diilustrasikan bahwa hutan kita saat ini ibarat sebuah gudang, dimana kita telah memiliki gudang akan tetapi kita belum punya pengelola gudangnya. Sehingga isi gudang sering dicuri, rusak karena tidak jelas siapa yang mengelola. Untuk itulah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ini hadir. KPH akan menjadi penjaga hutan hingga di tingkat tapak. Sehingga hutan kita kedepan akan ada penunggunya dan hutan akan terbagi dalam petak dan blok. Dengan cara ini hutan kita akan terjaga dan kita dapat menikmati keberadaannya, ujar Wakil Bupati Sumbawa. Pada kesempatan yang sama, pengalaman pengelolaan KPH Daerah Istimewa Yogyakarta yang disampaikan oleh Aji Sukmono, S.Hut.,MP mengatakan kontribusi KPH Yogyakarta pada PAD Yogyakarta tahun 2011 sebesar Rp. 6.473.306.400 (enam milyar empat ratus tujuh puluh tiga juta rupiah). Kontribusi ini berasal dari pengelolaan hasil hutan bukan kayu Minyak Kayu Putih, dengan produksi sebesar 44.681 liter. Hal ini berbeda dengan kontribusi PAD dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa sejak 2006 sampai 2011 berkurang dari 600 juta rupiah menjadi 250 juta rupiah. Sehingga menurut Ketua DPRD Sumbawa H. Farhan Bulkiah yang hadir pada acara tersebut, tidak ada keraguan sama sekali bagi DPRD untuk tidak menyetujui keberadaan KPH Batulanteh. Lanjutnya, keberadaan KPH Batulanteh yang rancangan perdanya sedang diajukan oleh eksekutif, akan sangat klop dan relevan dengan rancangan Perda Pengelolaan Terpadu Sub DAS Batulanteh yang menjadi hak inisiatif DPRD Sumbawa. Pada kesempatan yang sama Ir. Ali Djadjono, M.Sc dari Direktorat wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan. Menurut Ali Djadjono kementerian Kehutanan sangat concern dengan keberadaan KPH. Keberadaannya sudah dipayungi dari UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007, berbagai Peraturan Menteri Kehutanan dalam rangka implementasi KPH. Bahkan dukungan dari Menteri Dalam Negeri melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomo 61 tahun 2010. Salah satu keseriusan Kementerian Kehutanan adalah tahun 2011 telah dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kehutanan khusus KPH. Untuk merealisasi penataan kawasan menjadi KPH dimulai dengan penetapan KPH Model di Indonesia. Penetapan UPT KPH Batulanteh sebagai KPH Model KPHP Batulanteh oleh Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.342/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Batulanteh (Unit IX) yang Terletak di Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat, tertanggal 28 Juni 2011. KPHP Batulanteh ini dengan luas + 32.776 (tiga puluh dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam) Hektar. Luasan ini meliputi 7 wilayah kecamatan terdiri dari Kecamatan Moyo Hulu, Moyo Hilir, Moyo Utara, Lab. Badas, Batulanteh, Unter Iwis dan Kec. Sumbawa. Berikut tabel 3 KPH di Kabupaten Sumbawa. Pada kesempatan yang sama Wakil Bupati Sumbawa juga menyampaikan bahwa Pemda Sumbawa juga telah mengusulkan kepada Menteri Kehutanan usulan KPH Model selain KPH Model KPHP Batulanteh. KPH tersebut yakni KPH Puncak Ngengas di wilayah kecamatan Alas Barat sampai dengan Kec. Rhee dan KPH Ampang dari Kec. Tarano hingga Kec. Plampang.