24 November 2009

Bagaimana Jika Dunia Tanpa Lebah?


Hari ini Bandara Juanda 24 November 2009.

MEMBAYANGKAN DUNIA TANPA LEBAH (1)

Sambil menunggu jadwal penerbangan ku Surabaya - Mataram, lalu lalangnya manusia di Bandara mengingatkan ku akan kehidupan ini. Mungkin istilah tepatnya refleksi. manusia bertambah karena perkawinan, nah bagaimana dengan tumbuhan bisik ku dalam hati. jangan-jangan bekerja bersama lebah dan para petani di Sumbawa merupakan "tangan tuhan" untuk menunjukkan cara lain menyelamatkan bumi ini. Ah wallahualam....... Aku gak pedulilah karena selama ini aku berkerja dengan masyarakat di "haluan lain birokrasi", merpakan cara ku untuk mengalirkan gagasan dan idelaisme yang- bagaikan air bah - tak tertampung dalam bejana birokrasi - mungkin saja di Indonesia.

Tidak banyak yang care soal lebah, bahkan lebah hutan luput dari arus besar (mainstream) pengelolaan hutan di Indonesia. Padahal menurut Islam, soal lebah ini khusus Allah SWT menyebutnya dalam satu surat yakni Surat An Nahl. Allah SWT mungkin punya pesan khusus mengapa memilih lebah. Telah banyak ustad/ustzad, mubalig dan juru dakwa mengupas soal karakter lebah ini. Akan tetapi mengupas peran lebah dalam mengatur siklus kehidupan tidak banyak kita dengar.

Lebah dan Siklus Kehidupan Salah satu faktor penting kesimabungan generasi mahluk hidup di dunia yakni perkawinan bagi manusia dan penyerbukan bagi tumbuhan. Bagi manusia, hewan mungkin tidak telalu kita risau, karena semuanya memiliki insting, nafsu. akan tetapi bagaimana dengan tumbuhan?, titik pentingnya tumbuhan di penyebukan antara benang sari dan putik. Pertanyaannya siapa yang mengawinkan benag sari dan putik? dan bagaimana jika tidak penyerbukan?. Kita akan bahas satu-satu.

Peran Lebah dan Penyerbukan Lebih dari 90% penyerbukan tanaman di dunia ini dilakukan oleh insekta (kelas serangga). mahluk kecil yang mungkin saja kita liat sepintas tak berpengaruh. dari 90% itu sebanyak 60% penyerbukan karena lebah. Pohon berbuat, akibat penyerbukan. Buah yang kita makan sehari-hari tanpa kita sadari merupakan jasa dari lebah atau insekta lainnya.

Hari ini cukup saja dulu ah....mau berkemas-kemas naik pesawat

2 Juli 2009

Keterpaduan Pengelolaan Sumberdayaa Alam; Pengalaman dari Sumbawa


hari kamis 2 Juli 2009, di Jakarta 2009 mengikuti Rapat Koordinasi program Nusa Tenggara Barat - Water Resources Management Program (NTB-WRMP). Program telah dilaksanakan sejak tahun 2006 dengan sumber pendanaan dari Uni Eropa melalui Bank Dunia. Seluruh komponen pembiayaan yang telah dilaksanakan sejak 2006 dialokaskan untuk irigasi, penguatan P3A/GP3A (Gapungan Perkumpulan Petani Pemakai Air). Pembangunan saluran irigasi, perbaikan sarana irigas, penguatan P3A, pola tanam, serta pengembangan kapasitas petani. namun terdapat juga capaia-capaian yang bersifat regulasi seperti Perda Irigasi serta terbentuknya Komisi Irgasi (Komir). Komisi Irigasi ini selanjutnya dihajatkan sebagai wahana GP3A bersama seluruh parapihak terkait. Intinya semua pihak dan sumberdaya bicara soal water user (pengguna air) serta efisiensi penggunaan air irigasi.


Pertanyaan bagaimana membuat keterkaitan dengan daerah tangakapan air yang nota bene berada di hulu?. Bagaimana membangun kesadaran petani (P3A/GP3A) agar memiliki willines to pay bagi air yang telah digunakan. Ini juga dapat dibaca sebagai bagian dari keadilan pemanfaatan sumberdaya alam. bahkan lebih jauh skema hubungan hulu hilir seperti ini akan memberkan jaminan keberlanjutan pemanfaatan air serta pengelolaan sumberdaya alam.


Melihat peta seperti ini, Kabupaten Sumbawa mencoba menawarkan keterlibatan bagi adanya skema hulu hilir serta konservasi hulu dalam program NTB-WRMP ini. Implementas gagasan ini dilaksanakan di Sub DAS Batulanteh. Sub DAS ini merupakan kawasan strategis, dimana lokasi ini adalah daerah tangkapan air bagi sungai yang melintasi Kota Sumbawa Besar, sumber air PDAM yang mengairi 800-ah hektar Daerah Irigasi (DI) serta kawasan yang menghasilkan madu hutan terbesar di Sumbawa.


Sebagai pelaksana kegiatan, keterpaduan merupakan suatu keharusan untuk pengelolaan sumberdaya alam di kawasan ini. Salah satu sumber pembiayaan dan pihak yang terlibat di bagian hulu kawasan ini yakni Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS) yang telah bekerja bersama petani madu untuk mendorong konservasi DAS berbasis lebah amdu hutan. kegiatan ini atas dukungan dari Ecosystem Grant Program (EGP) IUCN The Netherland.

7 Juni 2009

Menatap Masa Depan Ekosistem Sumbawa Bersama Lebah Hutan


Entah kenapa madu Sumbawa begitu banyak dikenal orang. Memang belum banyak yang memberikan penjelasan akan hal tersebut. Mei 2007, saya bersama bebertapa petani dan ketua koperas di beberapa desa di Sumbawa mencoba mengikat diri dalam satu harapan, tantangan serta latar belakang yang selanjutnya menjadi pengungikat ini semua. Petani madu - seperti halnya juga petani lain di seluruh sudut-sudut terpencil di Indonesia, juga mengalami sejumlah hambatan untuk hidup, maju dan berkembang untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Para petani Indonesia seperi yang diilustrasikan oleh Clifford Gertzs sedang dalam proses involusi. Dalam sisi usaha pertanian untuk bisa disebuat usa yang tutup lubang gali lubang.

Lantas bagaimana dengan petani madu?. Petani madu di Sumbawa sesungguhnya merupakan tipologi petani sawah dan lahan kering dan sektor peternakan menjadi komplementer. Ritus pertanian Sumbawa dapat disederhanakan dengan; musim hujan tanam padi, kemarau ngurus ternak. Jika kebutuhan ternak telah terpenuhi serta selesainya kegiatan ladang/pertanian, maka aktivitas Main Jarang (pacuan kuda) sebagia bagian yang tidak terpisahkan dari ritus sosial masyarakat Sumbawa. main Jaran kemudian menjadi saran untuk ber "weekend" ala masyarakat Sumbawa.

Untuk mengisi waktu antara ini, sebagian dari masyarakat Sumbawa terutama di dataran rendah lebih khusus di Sumbawa bagian utara, maka aktivitas mencari madu akan mereka isi hingga sebelum musim hujan. Atau paling tidak minggu pertama dan kedua musim hujan dimana bunga-bunga dari banyak kayu dan tanaman hujan, akan dimanfaatkan sebagai nektar lebah hutan.

Dengan tipologi hujan yang relatif lengkap di gugusan Sunda Kecil ini sebutan bagi kepuluan nusa tenggara di era kemerdekaan dulu, madu dari wilayah ini sering menjadi ukuran bagi madu di Indonesia. Tipologi hutan dari kering hingga lembab membuat madu sumbawa menjadi lebih khas... begitu kira-kira

Bersambung ke cerita berikutnya

2 Juni 2009

Kemitraan Pengusaha Kayu dan Petani Farm Forestry di Australia:




***
Dunia menjadi tanpa batas (the world of borderless) akibat perkembangan teknologi. Melalui jaringan internet (e-mail) Julmansyah, S.Hut staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumbawa melaporkan perjalananya ke Australia dari tanggal 10 – 20 November 2006. Perjalanan ke Australia merupakan rangkaian dari program Kemitraan Kehutanan di Australia dan Indonesia Bagian Timur yang dibiayai oleh Pemerintah Australia melalui ACIAR. Kegiatan ini sendiri dilaksanakan secara kolaboratif oleh Universitas Charles Stuart Australia, Departemen Kehutanan RI, WWF, CIFOR. Hingga laporan ini dimuat yang bersangkutan dalam perjalanan pulang ke Sumbawa. Berikut Laporannya:

***
Di Farm Forestry milik salah satu keluarga di Hamilton dengan latar belakang tanaman Ecualyptus dan Pinus yang telah dimitrakan dengan pengusaha kayu (sawmill)
Rombongan dari Indonesia berjumlah 5 orang yang terdiri terdiri dari 3 orang dari Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi (BP2KS), 1 orang anggota PAG (Project Advisory Group) yang juga Kepala Dinas Kehutanan Kab. Bulukumba Sulsel dan 2 orang dari Sumbawa yakni Julmansyah (Dishutbun) dan Kurniawan (Sumbawa Project Officer WWF NusaTenggara). Selama 10 hari di Negeri Kanguru rombongan didampingi oleh Dr. Digby Rice dan Hugh Stewart peneliti Charles Stuart University Albury Australia, perjalanan darat selama kunjungan menempuh tidak kurang dari 2015 km dari Sydney – Canberra – Tumut – Albury - Hamilton – Padington – Geelong – Colac dan berkahir Melbourne melawati 2 negara bagian New South Wales dan Victoria.
Ada perbedaan waktu 3 jam antara Indonesia dan Australia. Saat ini, merupakan akhir dari musim dingin (winter) karena awal Desember akan memasuki musim panas (summer), sehingga suhu udara kadang-kadang di bawah 100C hingga 320C misalnya di Sydney dan Melbourne. Kondisi suhu ini dirasakan berbeda-beda di setiap lokasi (kota) yang dikunjungi. Hari Kedua Rombongan melakukan diskusi dan presentasi di kantor ACIAR (Australian Center for International Agricultural Research) yang berlokasi di Canberra ibukota Australia yang merupakan kota pusat pemerintahan, berbeda dengan Melbourne atau Sydney yang merupakan kota perdagangan. Diskusi formal dilakukan dengan pegawai pemerintah Australia maupun di 2 negara bagian yang di kunjungi New South Wales dan Victoria.
Pemerintah Australia melalui Kantor Land and Water telah melakukan pengelolaan air secara integratif (terpadu). Wilayah tangkapan air dari hutan negara (native forest/state forest) sampai dengan Lahan Milik yang terdapat kayu dan peternakan (farm forestry) telah terpetakan dengan baik serta pemilik lahan memliki kesadaran lingkungan terhadap biodiversity, air dan lingkungan. Penebangan liar (illegal logging) di Australia sangat kecil bahkan jarang terjadi hal itu disebabkan oleh jalasnya (clear and clean) antara batas hutan negara (native forest/state forest) dengan lahan pertanian (farm forestry). Hal tersebut sangat jelas di semua keluarga Australia yang dikunjungi serta bermalam selama di kota-kota kecil di Victoria. Semua lahan milik telah dipetakan dengan mengunakan teknologi GIS (Geografi Informasi Sistem). Hal ini sangat berbeda jauh dengan kondisi di Sumbawa, dimana lahan hutan sendiri masih belum semua dipetakan dengan sistim GIS. Metoda ini memudahkan masyarakat untuk membuat posisi tanah menjadi jelas karena adanaya titik koordinat.
Konfigurasi sosial pedesaan di Australia yang tertib serta berkesadaran lingkungan yang tinggi tidak terlepas dari sejarah bangsa dan pendidikan yang diterapkan. Pengalaman mengelola Farm Forestry (lahan pertanian, kehutanan dan peternakan) oleh satu keluarga telah mengalami lebih dari 100 tahun yang lalu secara turun temurun dan sangat tertib. Disamping itu luas kepemilikan lahan Farm Forestry dalam satu rumpun keluarga rata-rata 70 – 100 Ha. Hal tersebut misalnya di Farm Forestry milik Andrew Stewart di Hamilton Victoria, orang tuanya telah mengelola lahan pertaniannya sejak tahun 1883. Hal ini juga sangat berpengaruh dengan jumlah penduduk Australia yang relatif kecil bila dibandingkan dengan Indoensia 200 juta orang. Di Austrlia hanya 1% penduduk yang petani sisanya di sektor jasa dll.
Dalam satu hamparan Farm Forestry di satu keluarga, tata letaknya menunjukkan adanya perencanaan yang matang dengan diketahuinya indikator lingkungan yang diketahui oleh semua keluarga. Misalnya sebelum ada kayu di lahan miliknya air kurang, burung-burung jarang terdengar serta pemandangannya kurang indah. Selama mengelilingi tanah milik Andrew Stewart rombongan bertemu dengan 2 ekor Kanguru, Tupai serta kelinci yang hidup dengan liar.
Farm Forestry sangat memiliki peran penting dalam pengelolaan air karena hampir seluruh wilayah tangkapan air di dalam lahan milik. Menurut mereka, pendidikan lingkungan yang membangun kesadaran lingkungan yang baik. Sejak anak-anak usia dini sudah dikenalkan dengan lingkungan, outbound keluarga, pendidikan di sekolah dan di keluarga. Indikator-indikator lingkungan di areal pertaniannya diketahui dengan baik oleh seluruh anggota keluarga.


Kemitraan Petani dan Pengusaha Kayu
Perusahaan kayu (wood company) maupun sawmill di Australia, tidak ada yang memiliki areal konsesi di hutan negara. Perusahaan rata-rata memiliki areal penanaman dan blok tebangan di lahan milik sendiri maupun di lahan milik petani dengan sistem kemitraan. Pola kemitraan petani dengan pengusaha dapat berupa seluruh tanah milik dimitrakan untuk ditanam oleh perusahaan kayu maupun hanya pada sisi/pingir lahannya saja tergantung dari kesepakatan. Tata letak lahan pertanian, kehutanan dan peternakan (farm forestry) diatur sesuai kebutuhan. Misalnya di lahan seluas 100 Ha hanya ditanam 15% untuk kayu di pinggir-pinggir lahan pertanian, lokasi yang miring serta sekitar anak sungai dan tangkapan air. Itu semua dimitrakan dengan pengusaha, pengusaha menyiapkan bibit, petani menanam dan pemeliharaan, keuntungannya 70% perusahaan dan 30% petani setalah panen.
Di setiap lahan Farm Forestry di semua lokasi yang dikunjungi memiliki dam kecil (embung) yang berfungsi menampung air hujan serta bagian dari menejemen kebakaran lahan (fire management). Disamping itu dam kecil tersebut merupakan tempat minum bagi ternak baik sapi maupun domba dengan jumlah mencapai ratusan ekor.
Disamping kayu yang dimitrakan dengan perusahaan kayu, terdapat juga kayu yang ditanam sendiri di lahan milik dengan jenis softwood (kayu lunak) dengan daur tebang 10 – 15 tahun misalnya jenis pinus. Di Australia tidak ada ijin tebang akan tetapi dikenakan pajak kalau di jual. Pada proses penjualan kayu yang berperan penting yakni pihak perantara (Growers). Growers (perantara) sangat profesional, dia membantu negosiasi harga antara petani dengan perusahaan, dan Growers (perantara) mendapatkan fee dari petani. Hal ini berbeda dengan situasi di Sumbawa (Indonesia), para pedagang perantara kayu justru memainkan harga kayu sehingga margin keuntungan kayu lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara. Apalagi berhadapan dengan petani miskin di desa. ***

Pelajaran dari Negeri Kanguru:

Australia memiliki lebih 1,5 juta ha hutan tanaman, sementara hutan alam merupakan kawasan konservasi meliputi taman nasional. Hutan tanaman baik dalam kawasan hutan (native forest) maupun hutan yang berada dalam tanah milik (landawnership) berupa farm forestry. Hutan tanaman tersebut terkosentrasi minimal di 3 (tiga) negara bagian yakni New South Wales, Victoria dan Tasmania semuanya berada di bagian Selatan Benua Australia.
Di negara bagian Victoria lokasi hutan tanaman dalam maupun luar kawasan berada di kawasan Green Triangle. Di kawasan Green Triangle ini perusahaan kayu baik Wood Company maupun Sawmill sebanyak 12 buah dengan model kemitraan (partnership). Selama dalam perjalana baik diskusi formal dengan pegawai pemerintah, diskusi non formal dengan petani maupun penelusuran pustaka meliputi publikasi/pustaka yang di dapat oleh rombongan, ditemukan beberapa pelajaran lain yakni:

Menejemen Pengelolaan Hutan
Di negara bagian Victoria, kawasan hutan dengan luasan tertentu memiliki menejer yang berperan untuk mengelola dari penanaman hingga pemanenan sampai ditingkat blok tanam ataupun blok tebangan. Hal ini mirip dengan struktur KCD/SPH di Sumbawa, dimana KCD/SPH memiliki wilayah kerja tertentu. Rombongan bertemu dengan Hugh Dunchue pegawai kehutanan setempat (acting director for planted forests operation). Juga bertemu dengan Dr. John Kellas Executive Officer Green Triangle Regional Plantation Commite, semacam forum antar pihak (pemerintah, perusahaan dan masyarakat).
Pengelolaan dari menanam, pemangkasan, penjarangana hingga penebangan, termasuk juga mendorong model kemitraan perdagangan karbon, yang merupakan implementasi Protokol Kyoto. Saat ini negara yang memiliki hutan mulai melakukan perdagangan karbon (Carbon Trade). Dimana masyarakat yang menanam pohon dengan luasan tertentu di bayar oleh nega berkembang melalu skame perdagangan karbon.

Data Base dan Informasi.
Disetiap farm forestry maupun kawasan – kawasan hutan rombongan baik selalu disuguhi dengan data informasi yang detail baik data spasial (ruang) maupun non spasial (buletin, buku informasi serta peta informasi geografi). Di kawasan hutan di sebuah distrik/kabupaten bahkan memiliki visi 2020 untuk pengelolaan kawasan hutan. Informasi yang detail juga dikelola oleh sebuah jaringan masyarakat (community networking) yakni Otway Agroforestry Network. Jaringan ini mirip sebuah kelompok tani hutan di Sumbawa yang membawahi beberapa kawasan hutan. Mereka memiliki buletin yang dikelola dari iuran para anggota. Bahkan ada beberapa anggota mereka yang sempat melawat ke Eropa mempresentasikan hasil kunjungan mereka di depan anggota kelompok. Sebuah mekanisme sharing informasi yang bersendikan akuntabilitas merupakan pelajaran penting. Disamping detailnya informasi dalam bentuk cetakan (kemasan), yang memudahkan pihak lain mempelajari berbagai hal soal Australia. Kemasan informasi di Sumbawa merupakan sesuatu yang ”dianggap tidak penting” bahkan kalau toh dilakukan relatif tidak menarik. Publikasi menjadi penting menjadi bahan untuk merefleksikan sesuatu yang telah diperbuat.
Ruang Terbuka Hijau.
Di negara bagian Victoria, dikenal istilah Taman Nasional (National Park), State Park, Wilderness Park, Costal Park, Historic Park, Marine National Park, Metropolitan Park. Namun yang paling terasa dan penting diamati oleh Rombongan adalah Ruang Terbuka Hijau di tengah kota besar seperti Sidney, maupun distrik setingkat kabupaten maupun sub distrik di tingkat kecamatan. Ruang Terbuka Hijau tersebut menjadi taman kota maupun Ruang Publik dimana warga kota (cityzenship) banyak menghabiskan waktu sore maupun hari libur. Ruang Publik seperti ini juga sangat berperan dalam menyeimbangi Carbon yang dikeluarkan oleh kendaraan, pabrik maupun efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global (global warming).
Ruang Terbuka Hijau harus mulai dipikirkan untuk setiap kecamatan di Sumbawa, untuk terbentuknya kota yang bersahabat dengan alam. Misalnya setiap kecamatan minimal ada 0,25 Ha ada ruang terbuka hijau atau hutan kota kecamatan. Semua pihak harus mulai memikirkan dan paling tidak harus dilakukan mulai sekarang. (***)