30 April 2011

Memangkas Jejaring Rentenir di Pedesaan, Pengalaman BUMDes LKM di Sumbawa


Belajar dari banyak pengalaman program pemerintah pusat maupun daerah terkait dengan dana bergulir, Lembaga Keuangan MIkro (Koperasi) serta Koperasi, maka perlu langkah trobosan agar bantuan keuangan di masyarakat tetap sasaran dan berkelanjutan. Pengalaman program NTAADP (Nusa Tenggara Agricultural Area Deevelopment Project) dengan pembiayaan World Bank (bank dunia) di Sumbawa membuat buku ini hadir.

Upaya revitalisasi segala bentuk kegiatan yang mengelola dana bergulir, dana bantuan sosial (bansos) tidak lain agar masyarakat memiliki kesempatan dan kemudahan pada pembiayaan keuangan (acces to finance). Mengingat banyak akses kredit perbankan yang ditawarkan kerap "elitis" bahkan menerapkan bunga komersial pada pelaku UKM di pedesaan. Ditambah dengan birokrasi dan administrasi perbankan yang masih sulit dipenuhi oleh masyarakat miskin maupun usaha masyarakat yang sedang tumbuh. Membuat para pelaku usaha bankable dan feaseable sesuatu yang harus dipenuhi, akan tetapi harus melalui tahapan agar masyarakat pedesaan/miskin tidak malah jatuh dalam kubangan hutan. Untuk itu dibutuhkan pola koordinasi pelembagaan lembaga keuangan mikro sebagai alternatif kases keuangan masyarakat miskin. Grameen Bank di Bangladesh sudah membuktikan bahwa masyarakat miskin memiliki kekuatan dan caranya sendiri untuk mandiri.

Fenomena selesai program dari Pusat selesai dan tidak berkesinambungan apa yang telah diinvestasikan di masyarakat, patuh menjadi perhatian para pengurus kebijakan. Hal tersebut juga akan saksikan pada program PIDRA yang dibiayai IFAT. PIDRA (Program Participatory Integrated Development in Rainfed Area), merupakan program lahan kering di Kab. Sumbawa sejak 2003 sampai 2009.

Buku BADAN USAHA MILIK DESA, Perjalanan dan Pengalaman BUMDes LKM Alternatif Akses Keuangan Masyarakat Perdesaan di Kab. Sumbawa, mencoba memberikan jalan lain terhadap fenomena yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Buku ini berisi pengalaman 10 BUMDes LKM di 10 desa di Kab. Sumbawa yang selama 3 tahun ini menunjukkan laporan keuangan yang sehat. Bahkan telah memberikan PADes (Pendapatan Asli Desa) yang berarti di 10 desa. Desa tersebut yakni, Desa Lab. Jambu (Tarano), Muer (Plampang), Maronge (Maronge), Olat Rawa dan Berare (Moyo Hilir), Sabedo (Utan), Lenangguar dan Tatebal (Lenangguar), Sukamaju (Lunyuk). Kelembagaan keuangan ini berpotensi menjadi semacam "Bank Masyarakat Desa". Bahkan di Kec. Lunyuk, akibat beroperasinya BUMDes LKM, keberadaan LKP tidak meningkat statusnya menjadi BPR LKP, akibat dari nasabah potensialnya tidak berlaih dari BUMDes LKM Sukamaju.

Dengan bunga yang jauh dari besaran bunga bank komersial, BUMDes LKM menjadi teman masyarakat desa dan terhindar dari renetenis yang hadir ketika menjelang musim panen dan musim tanam. Kehadiran BUMDes sangat bermanfaat bagi mayoritas petani di desa-desa yang memiliki BUMDes LKM.

Buku ini dilengjapi dengan seperangakt peraturan disemua level sebagai pra syarat BUMDes yang sehat. disamping itu, buku ini juga menggambarkan profil masing-masing BUMDes LKM sehingga pembaca akan dimudahkan untuk mempelajari. Sekalipun buku dengan tebal 232 halaman tetap informatif.

Hal ini kontradiktif dengan BUMDes GERBANG MAS yang diinisiatifi oleh Pemerintah Provinsi NTB sejak 2008 lalu. Keberadaan BUMDes GERBANG MAS khususnya di Sumbawa berpotensi kollpas bahkan menjadi cerita kelam yang mengikuti banyak cerita gagalnya kelembagaan koperasi di pedesaan.

Semoga buku ini memberikan inspirasi baru ditengah euforia penanggulangan kemiskinan disemua level pemerintahan.

24 April 2011

Bumi di Bawah Transaksi Kerusakan Permanen




Catatan dari Beranda untuk Hari Bumi 22 April 2011

Dulu para peneliti dan ilmuan boleh menganggap bahwa bumi memiliki kemampuan untuk mengobati dirinya sendiri. Tetapi pernyataan ini lambat laun terbantahkan, bahwa persoalan kesinambungan bumi bukan hanya urusan bumi dan mahluk diatasnya atau soal bumi memiliki energi untuk mengobati dirinya sendiri. Jauh dari persoalan itu, terdapat suprastruktur berupa, nilai-nilai, iedologi serta kekuasaan (power) yang memiliki kemampuan membawa bumi ini dalam bayangan kerusakan permanen atau setelah pada titik "equiblirium kesadaran", baru kita sadar bahwa kita sudah salah jalan, bahwa bumi yang kita pijaki ini sudah pada ambang siaga satu. mengalami kerusakan permanen akibat dari kemampuan jangka pendek para penyelenggara bumi untuk mengeksploitasi kandungannya. Akan tetapi mengamati fenomena di era reformasi ini baik di pusat kekuasaan negara maupun di daerah dengan telanjang dipentaskan bahwa penyelenggara negara/pemerintahan jauh dari kesadaran bahwa pilihan sikap dan keberpihakan kita dalam menyelenggarakan pemerintahan telah salah jalan.

Indikator paling mudah diamati yakni bisa dilihat reaksi, respon dan fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara pusat/daerah, pemberian ijin pada penguasaha (tambang, hasil bumi serta perbankan)bandingkan dengan ijin oleh kelompok masyarakat, masyarakat desa atau kelembagaan komunitas lainnya?. Kita selalu dihadapkan pada komentar penyelenggara pemerintahan, "tidak ada kelompok masyarakat yang layak untuk diberikan ijin". Penyataan itu bukanlah pernyataan penyelenggara negara akan tetapi pernyataan pengusaha besar yang meminjam "mulut" penyelenggara negara. Sudah menjadi kewajiban penyelenggara negara untuk memberdayakan, melakukan penguatan pada masyarakat kecil, masyarakat desa, asosiasi rakyat agar mereka memiliki kompetensi untuk dapat bersaing bersama pengusaha-pengusaha yang mungkin juga dibangun melalui praktek-praktek kartel dengan politik. Inilah sejatinya keberadaan negara ini untuk melayani si pemilik mandat yakni rakyat.

Pada posisi ini, rakyat sepertinya tidak punya teman dan koalisi untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang penuh dengan hambatan yang nir-akses buat masyarakat kecil, nelayan, petani madu hutan, pencari rotan, PKL serta kalangan perempuan dan janda-janda tua. Pada satu sisi proses memberikan "karpet merah" bagi ijin pengrusakan permanen bumi ini terus berlanjut.

Proses introduksi dan intervensi halus kartel dan pengsaha besar dalam rangka pengrusakan permanen bumi ini, melalui perjanjian bilateral serta peraturan perundang-Undang. Hal ini bisa dilihat dari substansi UU tentang Sumberdaya Air, UU PMA, UU Minerba, UU Perkebunan, UU Perikanan Kelautan serta banyak lagi yang membuat rakyat di pedesaan sebagai penerima dampak pertama dari kerusakan permanen bumi ini.

Ideologi Pembangunan Penyelenggara


Dengan pemetaan diatas, nampak jelas idelogi penyelenggara pemerintah saat ini di semua level. Sadar atau tidak praktek penyelengaraan pemerintahan seperti disebutkan diatas, jelas memberikan kontribusi bagi perngrusakan bumi secara permanen, pada sisi lain, rakyat kehilangan teman dalam mengarungi kehidupan yang setiap jengkal tanah di bumi mudah "digadaikan".

Semua dokumen perencanaan pembangunan dari pusat, provinsi dan daerah tersedia. Program pro rakyat diluncurkan, akan tetapi praktek dan proses eksekusi tidak seindah dokumen bahkan nyaris menjadi monumen dan program tanpa jejak. Kita diperdengarkan dengan berbagai "suara-suara diam" mengeluh, tentang jika program bantuan modal, hibah ke kelompok masyarakat, disunat dengan berbagai alasan, bahkan dengan berbagai sindiran yang membuat bantuan modal, hibah, bantaun langsung masyarakat diberikan pada oknum penyelenggara. Sikap ini jauh dari sikap memberdayakan, jadi jangankan diperkuat kelompok masyarakat agar mandiri malah dicatut serta pola pemberdayaan seperti pemadam kebakaran. Kita bisa lihat program yang dari pusat di daerah relatif tidak punya skema keberlanjutan, selesai program selesai sudah kegiatan tanpa outcame (kemamfaatan).

Sekali lagi ini soal, cara pandang, paradigma, idiologi yang kemudian termanifestasikan pada sikap, kata-kata serta pilihan tindakan. Dibutuhkan directing (arahan) yang kuat dari pimpinan, lagi-lagi soal leadership pimpinan unit kelembagaan penyelenggara. Pilihan ideologi, paradigma yang tertanam dalam birokrasi indonesia tertanam sejak sekolahan. Diperkuat dengan materi pra jabatan calon pegawai negeri sipil, lengkap sudah derita bumi ini.


(Renungan Hari Bumi I, bersambung pada renungan berikutnya, sikap penyelenggara dalam proses perijinan pengruskaan bumi permanen)