24 Februari 2011

Membuat Bekerjanya Integrasi dan Koordinasi di Sektor Pemerintah

"Koordinasi bukanlah sekedar rapat koordinasi"

Pernyataan ini telah menjadi pemahaman umum di benak aparatur pemerintah bahkan telah melkat sejak era orde baru. Hal ini terkait dengan perilaku birokrasi selama ini yang sering dilayani bukan melayani. Birokrasi berjarak dengan masyarakat, padahal birokrasi pemerintah merupakan pelayan masyarakat. Sehingga hal ini mempengaruhi semangat dan motivasi koordinasi. Nampaknya koordinasi di pemerintahkan akan terjadi jika terdapat tekanan (pressure) dari atasan atau karena memang telah menjadi mandat konstitusi. Membutuhkan terjadinya koordinasi yang berangkat dari kesadaran kritis, butuh waktu daya inovasi kepemimpinan di jajaran birokrasi. Oleh banyak kalangan mengatakan perlunya kewirausahaan birokrasi. Tata kelola birokrasi mengadopsi good coorporate governance, bahkan banyak teori pemerintahan yang mengulas tentang hal ini.

Belajar dari pengalaman bekerja di pemerintahan nampaknya membutuhkan inovasi baru, dengan menciptakan tools (alat) dan sistem untuk tumbuhnya koordinasi secara organik. Salah satunya bagaimana membangun koordinasi melalui connectivity antar SKPD dalam mendorong tumbuhnya agribisnis komoditi unggulan berbasis desa atau claster kawasan. Untuk itu dibutuhkan common platform atau common ground (pijakan bersama) dalam mendorong koordinasi untuk tumbuhnya connectivity. Pijakan bersama antar SKPD kemudian menjadi kontrak kinerja dengan Bupati/Wakil Bupati. Kontrak Kinerja dan MoU antar SKPD selanjutnay menjadi pedoman bersama yang evaluasi dilakukan setiap 3 (tiga) bulan oleh Wakil Bupati.

Tahapan selanjutnya adalah diskusi-diskusi terbatas dengan berbicara lebih detail soal kegiatan anggaran dan lokas kegiatan. Sehingga diharapkan proses ini menjadi mengerucut hingga mencapai tujuan adanya kesepatan antar SKPD.

22 Februari 2011

Musrenbang: Masihkan Menjadi Ritus Perencanaan Pembangunan Tanpa Makna?

"untuk apa kita melakukan musrenbang
jika kegiatan yang tahun lalu kami tidak tahu status dan kabarnya,
kita minta bronjong yang datang kegiatan lain"


Petikan diatas hampir tiap tahun menjadi lagu wajib masyarakat yang disampaikan di musrenbang kecamatan dilakukan. Bagi wakil SKPD yang hadir di kecamatan, dihadapkan pada posisi dilematis, serba salah bahkan salah tingkah, ketika dihujani dengan banyak pertanyaan kritis dari masyarakat. Fenomena ini cukup bagi kita menyiratkan, bahwa butuh reformasi sistem dan metodologi perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Namun situasi ini nampaknya seperti ritus tahunan yang kehilangan makna.

Pada sisi lain, pemerintah daerah sedang berkonsentrasi dalam mengurangi angka kemiskinan. Pengurangan kemiskinan diharapkan dapat dilakukan dengan stimulus melalui berbagai kegiatan dan program yang mengarah pada pengurangan kemiskinan. Dan kegiatan tersebut diharapkan muncul secara bottom up, melalui musrenbang desa, kecamatan dan kabupaten. Namun fakta yang terjadi bahwa 80% usulan masyarakat mengarah pada kegiatan fisik jika dibandingkan dengan program-program yang meningkatkan kapastas masyarakat miskin untuk dapat mandiri dan keluar dari jerat kemiskinan.

Pada sisi teknis kegiatan musrenbang, usulan dari desa telah diproses dari awal, akan tetapi bagaimana kita memastikan bahwa proses perencanaan di desa mendengar dan melibatkan suara masyarakat miskin, kelompok-kelompok profesi di desa, kelompok ternak P3A, simpan pinjam, pedagang bakulan, UMKM/IKM?. Musrenbang kecamatan pun dilakukan sehari, dengan peserta yang selected. Apakah mengundang peserta musrenbang juga juga merefresentaskan para wakil masyarakat dari berbagai segmen di masyarakat?. Instrumen musrenbang nampaknya haruslah adaptif dan adaptable dengan dinamika masyarakat saat ini.

Refleksi ini minimal dapat menyadarkan kita untuk dapat melakukan perubahan mendasar terhadap pola, metode sistem perencanaa pembangunan daerah.

Dari lantai 3 kantor Bupati Sumbawa
Arena Musrenbang, 22 Februari 2011

21 Februari 2011

Kemelut Kemiskinan: Antara Data Legal dan Data Legitimit

Perdebatan kemiskinan nampaknya banyak terfokus pada angka statistik kemiskinan. Angka yag dirilis oleh lembaga yang legal untuk menghitung angka kemiskinan di negara ini. Pada saat bersamaan secara kasat mata bunuh diri akibat tidak tahan terhadap beban kemiskinan dan akibat meningkatnya biaya hidup, terjadi di beberapa tempat. Fakta ini menyiratkan adanya sesuatu yang salah dalam melihat dan memberi perhatian pada masyarakat miskin.

Di banyak daerah fokusnya saat ini bagaimana menurunkan angka kemiskinan. Angka yang berimplikasi pada banyak hal, misalnya implikasi pada anggaran, jumlah proyek serta subsidi. Perdebatan dalam menyikapi kemiskinan terdapat dua pandangan, apakah pendekatannya top down; dimana pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran dan proyek untuk penannggulangan kemiskinan. Pandangan lainnya, bahwa persoalan kemiskinan harus dipecahkan oleh mereka sendiri, dimana pemerintah menjadi fasilitator dan katalisatornya.

Semua kabupaten, telah menyiapkan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemisikinan Daerah (TKPKD). Kabupaten Sumbawa pun telah membentuk TKPKD, sebagai ketua Tim yakni Wakil Bupati dengan sekretaris Kepala Bappeda. Perdebatan dan kebingungan terjadi pada data yang sepakat untuk dirujuk. Karena data kemiskinan hasil sensus BPS belumdapat menunjukkan dimana orang miskin itu berada, mengapa mereka miskin dan bagaimana mengatasi kemiskinan. Pemkab Sumbawa telah bersepakat dengan Pemrov NTB untuk menurunkan 2% angka kemiskinan dari 24,73% menjadi 22,73%.

Terkait dengan kemiskinan, bahwa proses collecting data dilakukan oleh petugas sensus BPS dengan menggunakan 14 indikator. Indikator inilah yang kemudian diyakini legal secara hukum karena telah menjadi amanat UU. Indikator 14 ini juga menjadi sumber masalah, dimana kondisi dan kategorisasi kemiskinan dinilai homogen seluruh daerah di Indonesia. Bahkan desa dengan karakteristik yang berbeda juga menggunakan indikator yang sama. Padahal banyak kasus orang atau Rumah Tangga, secara indikatif miskin karena sesuai dengan indikator namun sesungguhnya dia memiliki kerbau maupun sapi yang banyak, bahkan diatas rata-rata penduduk di desa sasaran. Metode sensus yang dilakukan oleh petugas BPS, tidak memiliki ruang untuk dilakukan triangulasi atau cek dan ricek data. Karena ruang verifikasi tidak dibuka karena pada kenyataanya sesungguhnya masyarakat desalah yang tau siapa sesungguhnya orang miskin itu berdasarkan tolak ukur yang memang diakui di desa sasaran. Untuk itulah dibutuhkan tools (perangakt) yang mampu melibatkan secara aktif masyarakat desa untuk menentukan siapa orang miskin dan bagaiman mereka miskin serta apa jenis kegiatan yang dilakukan agar orang miskin keluar dari jerat kemiskinan.

Disinilah letaknya data kemiskinan yang ada memilik "cacat bawaan". Data kemiskinan menurut BPS, berbda dengan data miskin menurut KB/BKPP, berbeda juga dnegan Jamkesmas serta data BLT dan data Raskin. Dalam situasi ini para pihak dan TKPKD harus mampu think out of box (berfikir diluar dari kebiasaan) untuk menemukan jalan kreatif dan inovatif dalam mengatasi kemiskinan.

Pada level Kab. Sumbawa, data kemiskinan rujukannya pada data RTS (rumah tangga sasaran) yang digunakan untuk data beras miskin (raskin). Dalam forum gabungan SKPD dan Pra musrenbang 21-22 Februari 2011, meski tidak secara formal namun arahan yang muncul di forum tersebut untuk sementara rujukan pada RTS ini. Pada saat bersamaan oleh Bappeda Sumbawa, pihak kecamatan diminta untuk menyampaikan data kemiskinan per desa. Jika kita konsisten, maka data kecamatan juga sama dengan data RTS tersebut. Sebab kalau berbeda, pertanyaan bagaimana indikator yang digunakan oleh kecamatan untuk mendata orang miskin tersebut atau apa metode pendataan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi "kebingungan" dalam merujuk data kemisikinan. Inilah kelemahan data pemerintah dari BPS yang dianggap syah atau legal oleh negara.

Pada sisi lain kita berharap data kemiskinan yang ada juga harus legimit artinya diakui oleh masyarakt desa. Namun yang muncul, banyak kasus data raskin maupun BLT hasil pendataan BPS justru menjadi sumber kecumburuan sosial akibat subsidi masyarakat miskin. Jika data BPS atau BLT/Raskin tersebut legitimit maka tidak akan ada riak-riak sosial dalam masyarakat dalam menanggapi bantaun kemiskinan.

Salah satu jalan keluar yang saya usulkan yakni, perlunya Analisis Kemisikinan Partispatif (AKP), dimana masyarakat desa sebagai pelaku dan secara pleno mendiskusikan dan merekapitulasi siapa orang miskin tersebut di level desa. Dengan demikian dibutuhkan pendekatan penaggulangan dilevel desa. Selama ini SKPD-SKPD menggunakan kacanata sektoral bahkan "topdown" dalam melihat kemiskinan. Bahkan penanggulangannya seperti kemelut, dimana antar SKPD tidak saling kerjasama dan tidak terkoneksi satu dengan yang lain.