21 Februari 2011

Kemelut Kemiskinan: Antara Data Legal dan Data Legitimit

Perdebatan kemiskinan nampaknya banyak terfokus pada angka statistik kemiskinan. Angka yag dirilis oleh lembaga yang legal untuk menghitung angka kemiskinan di negara ini. Pada saat bersamaan secara kasat mata bunuh diri akibat tidak tahan terhadap beban kemiskinan dan akibat meningkatnya biaya hidup, terjadi di beberapa tempat. Fakta ini menyiratkan adanya sesuatu yang salah dalam melihat dan memberi perhatian pada masyarakat miskin.

Di banyak daerah fokusnya saat ini bagaimana menurunkan angka kemiskinan. Angka yang berimplikasi pada banyak hal, misalnya implikasi pada anggaran, jumlah proyek serta subsidi. Perdebatan dalam menyikapi kemiskinan terdapat dua pandangan, apakah pendekatannya top down; dimana pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran dan proyek untuk penannggulangan kemiskinan. Pandangan lainnya, bahwa persoalan kemiskinan harus dipecahkan oleh mereka sendiri, dimana pemerintah menjadi fasilitator dan katalisatornya.

Semua kabupaten, telah menyiapkan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemisikinan Daerah (TKPKD). Kabupaten Sumbawa pun telah membentuk TKPKD, sebagai ketua Tim yakni Wakil Bupati dengan sekretaris Kepala Bappeda. Perdebatan dan kebingungan terjadi pada data yang sepakat untuk dirujuk. Karena data kemiskinan hasil sensus BPS belumdapat menunjukkan dimana orang miskin itu berada, mengapa mereka miskin dan bagaimana mengatasi kemiskinan. Pemkab Sumbawa telah bersepakat dengan Pemrov NTB untuk menurunkan 2% angka kemiskinan dari 24,73% menjadi 22,73%.

Terkait dengan kemiskinan, bahwa proses collecting data dilakukan oleh petugas sensus BPS dengan menggunakan 14 indikator. Indikator inilah yang kemudian diyakini legal secara hukum karena telah menjadi amanat UU. Indikator 14 ini juga menjadi sumber masalah, dimana kondisi dan kategorisasi kemiskinan dinilai homogen seluruh daerah di Indonesia. Bahkan desa dengan karakteristik yang berbeda juga menggunakan indikator yang sama. Padahal banyak kasus orang atau Rumah Tangga, secara indikatif miskin karena sesuai dengan indikator namun sesungguhnya dia memiliki kerbau maupun sapi yang banyak, bahkan diatas rata-rata penduduk di desa sasaran. Metode sensus yang dilakukan oleh petugas BPS, tidak memiliki ruang untuk dilakukan triangulasi atau cek dan ricek data. Karena ruang verifikasi tidak dibuka karena pada kenyataanya sesungguhnya masyarakat desalah yang tau siapa sesungguhnya orang miskin itu berdasarkan tolak ukur yang memang diakui di desa sasaran. Untuk itulah dibutuhkan tools (perangakt) yang mampu melibatkan secara aktif masyarakat desa untuk menentukan siapa orang miskin dan bagaiman mereka miskin serta apa jenis kegiatan yang dilakukan agar orang miskin keluar dari jerat kemiskinan.

Disinilah letaknya data kemiskinan yang ada memilik "cacat bawaan". Data kemiskinan menurut BPS, berbda dengan data miskin menurut KB/BKPP, berbeda juga dnegan Jamkesmas serta data BLT dan data Raskin. Dalam situasi ini para pihak dan TKPKD harus mampu think out of box (berfikir diluar dari kebiasaan) untuk menemukan jalan kreatif dan inovatif dalam mengatasi kemiskinan.

Pada level Kab. Sumbawa, data kemiskinan rujukannya pada data RTS (rumah tangga sasaran) yang digunakan untuk data beras miskin (raskin). Dalam forum gabungan SKPD dan Pra musrenbang 21-22 Februari 2011, meski tidak secara formal namun arahan yang muncul di forum tersebut untuk sementara rujukan pada RTS ini. Pada saat bersamaan oleh Bappeda Sumbawa, pihak kecamatan diminta untuk menyampaikan data kemiskinan per desa. Jika kita konsisten, maka data kecamatan juga sama dengan data RTS tersebut. Sebab kalau berbeda, pertanyaan bagaimana indikator yang digunakan oleh kecamatan untuk mendata orang miskin tersebut atau apa metode pendataan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi "kebingungan" dalam merujuk data kemisikinan. Inilah kelemahan data pemerintah dari BPS yang dianggap syah atau legal oleh negara.

Pada sisi lain kita berharap data kemiskinan yang ada juga harus legimit artinya diakui oleh masyarakt desa. Namun yang muncul, banyak kasus data raskin maupun BLT hasil pendataan BPS justru menjadi sumber kecumburuan sosial akibat subsidi masyarakat miskin. Jika data BPS atau BLT/Raskin tersebut legitimit maka tidak akan ada riak-riak sosial dalam masyarakat dalam menanggapi bantaun kemiskinan.

Salah satu jalan keluar yang saya usulkan yakni, perlunya Analisis Kemisikinan Partispatif (AKP), dimana masyarakat desa sebagai pelaku dan secara pleno mendiskusikan dan merekapitulasi siapa orang miskin tersebut di level desa. Dengan demikian dibutuhkan pendekatan penaggulangan dilevel desa. Selama ini SKPD-SKPD menggunakan kacanata sektoral bahkan "topdown" dalam melihat kemiskinan. Bahkan penanggulangannya seperti kemelut, dimana antar SKPD tidak saling kerjasama dan tidak terkoneksi satu dengan yang lain.

Tidak ada komentar: