22 Desember 2011

Memaknai Kembali Pengakuan atas Hak Atas Kekayaan Intelektual Komoditi Khas NTB

Oleh: Julmansyah (Peminat masalah pembangunan dan ekologi sosial serta) Fasilitator Jaringan Madu Hutan Sumbawa –JMHS) http://www.suarantb.com/2011/12/22/index.html (opini, kamis 22 Desember 2011)
Salah satu kado strategis nan istimewah namun rendah apresiasi di ulang tahun NTB ke 53 yakni pengakuan dan pemberian hak atas kekayaan intelektual (HAKI) Indikasi Geografis (IG) Madu Sumbawa, Kangkung Lombok dan Susu Kuda Sumbawa. Mengapa strategis dan istimewah karena melalui perangkat hukum ini, icon NTB mendapat perlindungan dari potensi pembajakan atas produk indikasi geografis, oleh berbagai produsen besar. Cukup banyak fakta dan praktek bagaimana pembajakan komoditi lokal masyarakat yang telah mengalami seleksi alami, di bajak menjadi merek dagang maupun paten. Pada akhirnya masyarakatlah yang akan menanggung kerugian akibat kompetisi perdagangan, akbat kelalian pemerintah, kelompok masyarakat tidak segera melindungi produki/komoditi yang ada. Dalam catatan Dirjen HAKI KemenkumHAM, pemohon HAKI Indikasi Geografis untuk Madu Sumbawa yakni Jaringan Madu Hutan Sumbawa (JMHS), Susu Kuda Sumbawa yakni Asosiasi Pengembangan Susu Kuda Sumbawa Desa Saneo Dompu dan Kangkung Lombok yakni Asosiasi Komoditas Kangkung Lombok. Penyerahan HAKI IG tiga komoditi khas NTB tersebut diserahkan oleh Direktur HAKI KemenkumHAM kepada Gubernur NTB pada saat upacara HUT NTB ke 53 di Sumbawa Besar. Penyerahan HAKI ini memiliki nilai yang sangat penting bagi kelompok/asosiasi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya pada tata niaga komoditi khas tersebut. Karena mereka dapat membentuk mekanisme diri (perlindungan) agar komoditi yang dihasilkan oleh kondisi geografis NTB ini tidak disalahgunakan oleh pihak lain. Tak jarang misalnya label Madu Sumbawa, akan tetapi madu dapat berasal dari daerah lain bahkan palsu. Hak Atas Kekayaan Intelektual Hak atas kekayaan intelektual/HAKI (Intellectual Property Right/IPR) merupakan bagian dan implikasi dari perjanjian TRIPs WTO (World Trade Organization). Indonesia adalah salah satu negara yang pada tanggal 15 April 1994 turut menandatangani persetujuan ini dan persetujuan ini disahkan dengan dibentuknya Undang-undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization. Tulisan ini tidak untuk memperdebatkan mengapa Indonesia menerima WTO, akan tetapi ingin meletakkan posisi atas berbagai pengakuan karya masyarakat selama ini. Masih terdapat kekeliruan pemahaman atas Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Misalnya penyerahan HAKI Indikasi Geografis Kangkung Lombok, Madu Sumbawa dan Susu Kuda Bima, masih dianggap sebagai pemberian Paten. Padahal yang diserahkan bukanlah Paten akan tetapi Indikasi Geografis (IG). Hak atas Kekayaan Intelektual terdiri dari Hak Cipta, Paten, Merek, Rahasia Dagang, Desain Industri dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Hak Cipta diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2002. Dimana hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan. Misalnya karya sinematografi dan program komputer. Paten diatur dalam Undang-undang Nomot 14 Tahun 2001. Paten merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan pada pihak lain. Sementara Merek dan Indikasi Geografis diatur secara bersamaan dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Lebih rinci HAKI Indikasi Geografis diatur kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007. Apa itu Indikasi Geografis Indikasi geografi adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Madu Sumbawa, Susu Kuda Sumbawa serta Kangkung Lombok merupakan hasil dari kondisi geografis yang tidak bisa ditiru oleh pihak manapun. Apalagi Madu Sumbawa telah menjadi icon sekaligus telah tertanam dalam benak masyarakat, kalau madu Sumbawa merupakan jaminan untuk madu dengan kualitas baik. Kita dengan mudah menemukan di pasar berbagai kemasan madu Sumbawa. Disinilah posisi pentingnya HAKI Indikasi Geografis untuk melindungi komoditi masyarakat NTB. Langkah ini sebagai bentuk antisipasi terhadap penetrasi berbagai modal-modal asing yang dapat mencuri berbagai genetika lokal Indonesia. Indonesia merupakan Negara megadeversity dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee, lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Pendaftaran “Gayo Mountain Coffee” CTM No.001242965 sebagai merek dagang di Eropa (yang sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai merek) telah memicu pemilik merek yang juga eksportir kopi untuk melakukan persaingan curang, dengan melakukan pelarangan terhadap salah satu eksportir kopi Indonesia. Cv Arvis Sanada salah satu perusahaan eksportir kopi arabika asal Gayo Aceh dilarang mengeksport kopi ke daratan Eropa dengan menggunakan kata Gayo dalam kemasannya, padahal biji kopi tersebut memang berasal dari Gayo Aceh. Demikian pula yang terjadi dengan kopi Toraja dimana Key Coffee Inc. Corporation dari Jepang mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Sehingga hal tersebut bisa berakibat sama sebagaimana hal yang terjadi di Eropa. Haruskah kita menunggu pihak lain yang akan mendaftarakan merek, meng-IG-kan berbagai kekayaan yang kita miliki? Seperti halnya Kopi Gayo atau Kopi Toraja dll?. HAKI Indikasi Geografis (IG) Madu Sumbawa setara dengan hak paten, merek dagang serta hak cipta, sehingga memiliki payung dan landasan hukum yang jelas. Bagi JMHS kepemilikan Hak Atas Kekayaan Intelektual terhadap kekayaan alam berupa madu Sumbawa, merupakan salah satu bentuk atas kedaulatan atas tanah, air serta kekayaan alam. Dengan HAKI ini maka petani madu yang tergabung dalam JMHS menjadi pemegang saham (share holders) atas kekayaan satu ini bahkan menjadi pemegang golden share. JMHS juga masih terus belajar (community learning), belajar mengorganisir diri sendiri (self organaizing), belajar meregulasi diri sendiri (self regulating), agar menjadi pemegang hak yang baik. Hak Atas Kekayaan Intelektual IG Madu Sumbawa bukan akhir dari kerja-kerja akar rumput minimal kita sudah bisa melindungi (proteksi) aset yang berharga dari masyarakat NTB. Akan tetapi tantangannya bagaimana menegakkan hak ini kedepan agar produk-produk ini tidak banyak dipalsukan, “dicuri” dan masyarakat pemilik hak mendapat manfaat yang lebih baik.

12 November 2011

Babak Baru Newmont di Sumbawa

Oleh: Julmansyah (Peminat masalah pembangunan dan ekologi sosial) Opini Suara NTB, updated: Rabu 19/10/2011, http://www.suarantb.com/2011/10/19/Sosial/detil5%201.html
SELAMA satu tahun terakhir, berbagai polemik muncul seputar keberadaan, dampak positif dan negatif dari PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). Bahkan Agustus –September 2011 terjadi amuk massa di sekitar tambang Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang mengakibatkan hampir lumpuhnya aktivitas PTNNT. Akibatnya, menimbulkan kerugian perusahaan. Amuk massa ini mengindikasikan adanya sesuatu yang menghambat proses relasi antara masyarakat, pemerintah daerah dan perusahaan tambang. Terlepas bahwa apakah relasi ini ditunggangi dengan berbagai kepentingan-kepentingan politis dan ekonomis. Akan tetapi amuk massa ini dapat dijadikan sebagai sarana bagi suara-suara diam di masyarakat untuk mengekspresikan “frustrasi sosial” masyarakat lingkar tambang yang salah satu pintu masuknya soal tenaga kerja atau rekruitmen tenaga kerja. Amuk massa juga bisa dibaca melalui kaca mata bahwa ada disharmoni sosial dan ekonomi antara masyarakat di sekitar tambang dengan PTNNT. Apalagi masyarakat dihinggapi dengan perasaan bahwa mereka yang dekat dengan sumber alam yang sedang dikeruk tetapi sedikit mendapatkan manfaat balik dari kekayaan tersebut. Sekalipun secara legal formal kita mengenal Hak Menguasai Negara (HMN) atas kekayaan alam, dan inilah konsekuensi atas NKRI. Dengan HMN inilah atas nama negara kekayaan alam dikeruk, yang manfaatnya didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kembali ke daerah dengan berbagai skema pendapatan daerah. Sisi lain juga PTNNT juga melalui skema community development (comdev) sebagai mandat Kontrak Karya serta coorporate social responsibility (CSR) atau tanggungjawab sosial perusahaan mandat UU Perseroan Terbatas, bekerja bersama masyarakat sekitar tambang Batu Hijau. Pertanyaannya adalah belum cukupkah atau sudah tepatkah semua skema manfaat balik dari pemerintah dan perusahaan pada masyarakat sehingga frustrasi sosial/amuk massa oleh masyarakat Batu Hijau itu terjadi? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh PTNNT ketika memulai babak baru di Blok Dodo Rinti Kabupaten Sumbawa. Sepintas potret-potret yang terjadi, menggambarkan bagaimana PTNNT diposisikan dan memposisikan selama belasan tahun sejak konstruksi 1998 hingga saat ini di Sekongkang Sumbawa Barat. Atau dengan bahasa lain, inilah buah dari proses ber-relasi selama ini, sebagai tamu di negeri Tana Intan Bulaeng. Mempertimbangkan hal ini, maka sudah saatnya paradigma tamu di negeri Tana Intan Bulaeng harus dirubah oleh manajemen PTNNT menjadi bagian dari masyarakat Tana Intan Bulaeng. Dengan kemauan baik (good will) PTNNT maka perlu melakukan reposisi dan redefinisi diri PTNNT menjelang masa eksplorasi di Blok Dodo Rinti Kabupaten Sumbawa. Untuk memulai babak baru Newmont di Sumbawa, maka sejumlah pertanyaan di atas harus dijawab. Membenahi Pola Relasi Ada tiga pihak yang terus menerus ber-relasi dalam konteks membangun babak baru Newmont di Sumbawa yakni Pemerintah Daerah, masyarakat dan PTNNT. Maka belajar dari pengalaman Newmont di KSB maka dapat dijadikan rujukan dalam membenahi pola relasi dengan tiga entitas di atas. Lokus sudah berbeda, maka fokus juga harus berbeda. Jangan sampai metode dan strategi lama digunakan untuk menyelesaikan masalah dan tantangan baru. Karena dinamika sosial serta aktor yang terlibat telah berubah. Telah timbul pandangan dan penilaian umum tentang Newmont, bahwa pola Newmont di KSB seperti “negara dalam negara”, entah bagaimana penilaian ini timbul dan menjadi wacana umum. Akan tetapi hal ini terkait dengan cara dan pola Newmont ber-relasi dengan pihak-pihak di sekitarnya. Maka hal ini harus bisa diminimalisir dengan perubahan pola relasi. Relasi dilandaskan pada prinsip mutual responsibility. Bahwa pola relasi melalui komunikasi antar pihak tidak harus ketika timbul masalah yang mengganggu proses eksplorasi akan tetapi membangun pemahaman bagaimana sejak awal memberikan manfaat optimal bagi rakyat pemilik sah kedaulatan kekayaan sumberdaya alam serta meminimalisir peluang yang akan berpotensi mengulangi dampak yang telah terjadi di Batu Hijau. Sehingga berbagi tanggungjawab (share responsibility) juga antar pemerintah dan Newmont akan betul-betul dapat diimplementasikan. Demikian pula segala rencana Newmont yang dilaksanakan di wilayah Kabupaten Sumbawa dapat juga dikomunikasikan bukan hanya informasi paket-paket proyek dari CSR atau Comdev tetapi juga terkait dengan baseline data sosial ekonomi budaya, metode dan strategi pemberdayaan masyarakat yang akan digunakan juga harus menjadi bagian dari bagaimana mewujudkan babak baru Newmont di Kabupaten Sumbawa. Selanjutnya, baseline data maupun hasil penjajakan kebutuhan masyarakat (need assessment) dapat juga menjadi bahan dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah. Di sinilah persinggungan kepentingan yang baik antara Newmont dengan pemerintah daerah. Adaptif Management Spirit manajemen Newmont untuk menggunakan pendekatan yang berbeda di Sumbawa dengan di KSB harus diapresiasi. Pendekatan tersebut dimulai dengan sejumlah kesepahaman (agreement) dengan Pemda dan kepala desa di sekitar wilayah eksplorasi, Dengan pola baru, diharapkan bukan sekedar lips servis sebagai upaya untuk mengambil hati masyarakat Sumbawa akan tetapi manajemen Newmont harus bisa menjadikan Samawa pang ate (Sumbawa selalui di hati menejemen Newmont) dan Newmont untuk kabalong desa darat (hadir bermanfaat bagi tanah dan masyarakat Sumbawa). Dalam lawas Sumbawa disebutkan Mana tau barang kayuq Lamin to sanyaman ate Yanan si sanak parana. Siapa saja harus diperlakukan sama, dengan tanpa memandang keturunan siapa orang itu, dari mana asalnya, dan apa tingkat pendidikannya. Yang penting kehadiran diri orang itu dapat membawa ketentraman hati. Ketentraman hati yang dapat dimunculkan oleh kehadiran diri individu yang lain, maka diri yang lain itu akan dipandang sebagai sanak keluarga. Dengan berprinsip pada nilai-nilai lokal setempat, maka manajemen Newmont harus adaptif dengan nilai tersebut. Apalagi ruang sangat terbuka agar Newmont dapat menjadi bagian integral dari masyarakat Sumbawa. Kehadiran tentu saja bukan sekadar diwujudkan dari sejumlah penghargaan yang dapat meningkatkan nilai saham tetapi dirasakan secara nyata oleh masyarakat yang paling dekat dengan sumberdaya yang sedang dikeruknya. Maka babak baru Newmont di Sumbawa dimulai dengan menghargai nilai dasar masyarakat setempat.

7 November 2011

Jaran Pusang Plampang, Betulkah Sisa Gunung Purba?

Sungguh banyak rahasia Sumbawa yang belum terkuak. Setelah Newmont menemukan cebakan emas di Dodo Rinti entah apalagi yang akan terkuak yang menyedot perhatian orang. Seperti halnya sebutan Tanah Intan Bulaeng, ternyata sungguh jadi kenyataan bahwa tanah Sumbawa dipenuhi oleh Bulaeng (emas, intan). Meski belum ada penjelasan sejak otentik sejak kapan kata Intan Bulaeng mulai digunakan dalam istilah/kosa kata dalam percakapan kebudayaan Sumbawa. Seperti halnya dugaan liar saya bahwa Sumbawa memiliki bukti adanya Gunung-gunung purba. Kalau kita cek lewat google earth, ternyata Gunung Jaran Pusang saya duga merupakan gunung aktif. Kalau dilihat dari puncak merupakan bekas letusan erupsi dengan lebar kurang lebih 5,68 km, meski tidak banyak rekaman tulisan soal ini. Sementara Tambora yang meletus 10 April 1815 letusannya 7 SR yang merupakan letusan terdahsyat di dunia, dengan lebar lubang bekas letusan sekitar lebih kurang 7,30 km. Artinya dari sisi lebar lubang pasti pernah terjadi letusan dahsyat di Jaran Pusang Plampang ini. Mari kita telusuri fakta-fakta tentang Sumbawa....

19 Oktober 2011

Rungan Samawa dan Komunitas Peduli Desa Darat (KPDD): Salah Satu Prototipe Jurnalisme Warga di Sumbawa

Sekitar tahun 1990-1998 pers mahasiswa menjadi pers alternatif. Pers umum saat itu orde baru diancam dengan pembredelan, sehingga kerap tidak banyak mengulas perihal yang terkait dengan kekuasaan. Pers mahasiswa (persma) melalui PPMI (Perkumpulan Perms Mahasiswa Indonesia) mampu mengorganinser diri menjadi alternatif. Kini saluran informasi tidak bisa lagi di kontrol dalam dunia yang borderless ini, akibat revolusi teknologi informasi. Kini berbagai portal, situs, blog pribadi serta jejaring sosial Fesbuk, twiter dll menjadi saluran alternatif untuk mengabarkan antar warga. Berbagai tema, persoalan, informasi diperdebatkan dan diwacanakan di media jejaring sosial. Jurnalis warga (Citizen journalis) adalah warga biasa yang menjalankan fungsi selayaknya jurnalis profesional yang pada umumnya menggunakan channel media baru yaitu internet untuk menyebarkan informasi dan berita yang mereka dapat. Citizen journalism adalah praktek jurnalisme yang dilakukan oleh non profesional jurnalis dalam hal ini oleh warga. Dan Gillmor, dalam bukunya “We the Media: Grassroots Journalism by the People, for thePeople,” menyebutkan bahwa telah muncul ekosistem media baru yang memungkinkan adanya percakapan multidirectional yang memperkaya dialog di tataran masyarakat sipil. Nurul Hasfi berpendapat sejak tahun 2002-nan, citizen media telah berkembang pesat yang mencoba mencari eksistensi di tengah atmosfer media tradisional. Dengan adanya internet, citizen media mampu menyebarkan informasi dalam bentuk teks, audio, video, foto, komentar dan analisis. Bahkan mampu menjalankan fungsi pers seperti watchdog, filter informasi, pengecekan fakta bahkan pengeditan. Nah bagaimana memposisikan Group Fesbuk Rungan Samawa dan Group Fesbuk Komunitas Peduli Desa Darat dalam konteks ini?. Nampak jelas Rungan Samawa (RS) dan KPDD mempu mmefasilitasi keinginan, suara warga dalam media online yang kemudian dalam bahasa Dan Gillmor menjadi percapakan multidirectional. Hingga tulisan ini dibuat RS memiliki 3.112 anggota, 275 foto dan 44 dokumen. RS lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan KPDD sehingga anggota jauh lebih banyak bahkan dengan macam tema diskusi yang beragam dari seputar info sampai dengan pembahasan roda pemerintahan. Suatu suasana yang tidak kita temukan di tahun-tahun di bawah 2000. Meski demikian KPDD telah memiliki 660 anggota dengan 77 foto dan 40 dokumen. Salah satu cirri jurnalis warga (citizen journalism) adalah kesukarelaan warga (anggota group) untuk meng-upload, reportase, berita, investigasi yang kemudian menjadi konsumsi bagi warga lain di group RS dan KPDD. Dari berita up load tersebut peran sebagai wactdog bahkan warga lain secara realtime mengikuti perkembangan terhadap tema yang dipercakapkan tersebut. Terjadi interaksi antar warga di tengah media mainstream. Dalam pengamatan saya di RS setiap hari terjadi transaksi gagasan yang begitu dinamis tidak kuran dari 30 broadcast pada berbagai tema di group tersebut. Pada KPDD salah satu peran yang menarik secara realtime di update oleh admin adalah dinamika Pasar Seketeng. Sebuah model (prototype) jurnalisme warga di Sumbawa yang begitu dinamis. Menjadi alternatif bagi perbaikan tata pemerintahan, pengetahun dan pertukaran pengalaman. Saya kira kita harus memberi apresiasi pada admin kedua group di fesbuk ini, karena telah mampu mewadahi sarana pertukaran informasi (experience and information exchange) antar warga Samawa dimana pun berada. Dengan hanya menggunakan handphone setiap warga Sumbawa dapat mengirimkan berita, informasi dan kabar dari tengah sawah, hutan sekalipun sejauh masih terdekteksi signal telepon. Dengan kemudiahan ini, tanpa pengalaman dan pengetahuan jurnalistik sekalipun setiap warga dapat meng-up load apa saja yang dianggapnya dapat di share antar warga di media fesbuk. Nurul Hasfi menjelaskan Munculnya internet mobile akan membawa perubahan dramatik tentang bagaimana berita dibuat dan disebarkan. Inilah fenomena yang terjadi di Indonesia dimana mobile internet berkembang begitu pesat, yang mulai dijajaki oleh media tradisional di Indonesia, misalnya dengan memproduksi e-paper yang bisa didistribusikan lewat mobile internet. Citizen media akan mendorong transparasi yang semakin terbuka dalam pelaporan berita. Hal ini menyebabkan para jurnalis profesional mulai membuat blog untuk mencari feedback informatif dari audience.

27 Juni 2011

POTRET PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI SUMBAWA (Perspektif Hak Ekonomi Sosial Budaya)


Judul Buku:PETA JALAN ALOKASI ANGGARAN BERBASIS PEMENUHAN HAK DASAR (Pembelajaran Analisis Partisipatif Indikator Hak Ekonomi Sosial Budaya di Kab. Sumbawa).
Penyusun: Amir Mahmud, Muslim dan Amrullah
Editor: Julmansyah dan Sambirang Ahmadi
Hal: 257 Halaman
Tahun: Desember 2008
Penerbit: SAMAWA Center dan Yayasan TIFA Jakarta



Buku ini merupakan rekaman proses dari program monitoring indikator anggaran yang berbasis pemenuhan hak dasar masyarakat di Kabupaten Sumbawa. Program ini ingin melihat bagaimana pelayanan pendidikan dan kesehatan pada empat kluster desa. Desa Pesisir di Desa Teluk Santong Kec. Plampang; Desa Pertanian di Desa Songkar Moyo Hulu, Desa Hutan di Desa Batudulang Kec. Batulanteh serta di Desa Sub Urban di Desa Kalimango Kec. Alas. Program ini atas dukungan Yayasan TIFA Jakarta selama 2007-2008.

Hak atas kesehatan meliputi hak untuk terhindarkan dari kelahiran-mati, kematian anak/bayi, dan berkembangnya anak yang sehat; hak atas perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; hak untuk menikmati pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; hak untuk menikmati penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam sakitnya seseorang (Pasal 12 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2005).

Hak atas pendidikan menegaskan pengakuan akan hak setiap orang atas pendidikan, di mana pendidikan mampu memandu perkembangan kepribadian manusia seutuhnya, kesadaran akan harga diri, dan memperkuat penghormatan atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan manusia yang mendasar. Dalam Pasal 13 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2005 lebih lanjut dijelaskan bahwa, pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat bebas, meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa, semua kelompok ras, etnis atau agama, dan mempromosikan agenda hak asasi manusia dan pemeliharaan perdamaian.

Buku ini juga memaparkan Hasil analisis anggaran dan proses penyusunan indikator hak dasar secara partisipatif oleh Samawa Center selama tahun 2008, menunjukkan kecenderungan adanya peningkatan anggaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Analisis anggaran tahun 2006 dan 2007 APBD Kabupaten Sumbawa.

Banyak temuan menarik terkait dengan implementasi pemenuhan hak dasar pendidikan dan kesehatan di 4 desa. Disamping itu menggunaan tools (alat/instrumen) dalam monitoring akan sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan bagi DPRD Sumbawa.

21 Mei 2011

Mendulang Cemas di Tambang Emas, Jejak Newmont Hingga di Sumbawa


Sejak beroperasinya Newmont Nusa Tenggara 2008 lalu di Batu Hijau Kab. Sumbawa Barat, perusahaan tambang ini tidak pernah lepas dari kontroversi di masyarakat Sumbawa. Dari rekruitmen pegawai (job post) yang sebagian besar bukan pekerja lokal, pembuangan tailling di Teluk Senunu yang juga diprotes oleh aktivis lingkungan hingga kasus pengambilan air enau atau dalam bahasa Sumbawa "bejalit". Semua ini mengindikasikan belum disiapkannya masyarakat dan infrastruktur oleh pemerintah daerah dalam rangka beroperasinya perusahaan tambang.

Ini bentuk kecemasan-kecemasan yang menjadi early warning bagi semua kita. Bahwa Newmont sedang menambang kekayaan alam di Tana Intan Bulaeng ini. Bukan hanya konsekeusni hilangnya kekayaan alam akibat penambangan, tetapi juga Newmont meninggalkan potensi "leten" yakni permbauangan tailling serta lobang tambang (open pit) dengan diameter 3 km.

Puncak kecemasan baik elit pemerintah daerah, provinsi hingga pusat yakni proses divestasi PTNNT sebesar 31% disamping kepemilikan nasonal 20% oleh Pukuafu. Proses divestasi PTNNT selama kurang lebih 4 bulan di Kab. Sumbawa Barat penuh dengan pentas pernyataan, kebijakan yang semuanya mengarah pada perusahaan tambang ini. Ini merupakan bagian dari negosiasi para elit, untuk mengantisipasi terjadinya kecemasan pada generasi Sumbawa Barat berikutnya. Terlepas, apakah proses divestasi merupakan ruang dan peluang perebutan aset kekayaan pribadi atau golongan atau merupakan bagian dari akuntabilitas politik daerah. Tidak jarang muncul konflik antar kelembagaan pemerintah, konflik horisontal akibat ada masyarakat yang pro tambang dan anti tambang.

Ini potret "kecemasan" di Sumbawa Barat. Bagaimana dengan Kab. Sumbawa (kabupaten induk?). Kecemasan-kecemasan belumlah se-manifest di Sumbawa Barat atau se-terbuka Sumbawa Barat. Akan tetapi penolakan dan perlawanan mulai tumbuh dan terorganiser. Semua ini merupakan cerminan dari kecemasan-kecemasan kolektif masyarakat. Celakanya perusahaan kerapkali merespon dengan cara-cara dan pendekatan security approach. Salah satunya adalah pembakaran camp perusahaan Newmont Nusa Tenggara ketika perusahaan ini melakukan eksplorasi di Blok Elang Dodo Rinti. Akibat ini aktivitas eksplorasi terhenti hingga beberapa tahun.

Fakta-fakta ini menyiratkan jejak yang harus didokumentasikan agar kita memiliki rekam jejak bagi anak cucu kedepan. Buku ini mencoba mengurai semua bentuk kecemasan-kecemasan sejak 2008 hingga 2011. Buku ini pula juga menggambarkan praktek Newmont di Twin Creck di Amerika, Newmont di Peru serta Newmont di beberapa tempat dengan segala taktik dan strategi menundukkan lawan atau pihak yang menentang keberadaannya, baik halus atau kasar.

Semoga buku ini dapat menjadi panduan bagi masyarakat Sumbawa agar secara kritis menyikapi keberadaan Newmont. Bahwa kita tinggal dan hidup pada bumi yang satu ini, bumi yang mulai menua dan mulai kehilangan kesimbangan ekosistemnya. Yang kemudian bisa mendatangkan bencana masa depan lebih permanen.

30 April 2011

Memangkas Jejaring Rentenir di Pedesaan, Pengalaman BUMDes LKM di Sumbawa


Belajar dari banyak pengalaman program pemerintah pusat maupun daerah terkait dengan dana bergulir, Lembaga Keuangan MIkro (Koperasi) serta Koperasi, maka perlu langkah trobosan agar bantuan keuangan di masyarakat tetap sasaran dan berkelanjutan. Pengalaman program NTAADP (Nusa Tenggara Agricultural Area Deevelopment Project) dengan pembiayaan World Bank (bank dunia) di Sumbawa membuat buku ini hadir.

Upaya revitalisasi segala bentuk kegiatan yang mengelola dana bergulir, dana bantuan sosial (bansos) tidak lain agar masyarakat memiliki kesempatan dan kemudahan pada pembiayaan keuangan (acces to finance). Mengingat banyak akses kredit perbankan yang ditawarkan kerap "elitis" bahkan menerapkan bunga komersial pada pelaku UKM di pedesaan. Ditambah dengan birokrasi dan administrasi perbankan yang masih sulit dipenuhi oleh masyarakat miskin maupun usaha masyarakat yang sedang tumbuh. Membuat para pelaku usaha bankable dan feaseable sesuatu yang harus dipenuhi, akan tetapi harus melalui tahapan agar masyarakat pedesaan/miskin tidak malah jatuh dalam kubangan hutan. Untuk itu dibutuhkan pola koordinasi pelembagaan lembaga keuangan mikro sebagai alternatif kases keuangan masyarakat miskin. Grameen Bank di Bangladesh sudah membuktikan bahwa masyarakat miskin memiliki kekuatan dan caranya sendiri untuk mandiri.

Fenomena selesai program dari Pusat selesai dan tidak berkesinambungan apa yang telah diinvestasikan di masyarakat, patuh menjadi perhatian para pengurus kebijakan. Hal tersebut juga akan saksikan pada program PIDRA yang dibiayai IFAT. PIDRA (Program Participatory Integrated Development in Rainfed Area), merupakan program lahan kering di Kab. Sumbawa sejak 2003 sampai 2009.

Buku BADAN USAHA MILIK DESA, Perjalanan dan Pengalaman BUMDes LKM Alternatif Akses Keuangan Masyarakat Perdesaan di Kab. Sumbawa, mencoba memberikan jalan lain terhadap fenomena yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Buku ini berisi pengalaman 10 BUMDes LKM di 10 desa di Kab. Sumbawa yang selama 3 tahun ini menunjukkan laporan keuangan yang sehat. Bahkan telah memberikan PADes (Pendapatan Asli Desa) yang berarti di 10 desa. Desa tersebut yakni, Desa Lab. Jambu (Tarano), Muer (Plampang), Maronge (Maronge), Olat Rawa dan Berare (Moyo Hilir), Sabedo (Utan), Lenangguar dan Tatebal (Lenangguar), Sukamaju (Lunyuk). Kelembagaan keuangan ini berpotensi menjadi semacam "Bank Masyarakat Desa". Bahkan di Kec. Lunyuk, akibat beroperasinya BUMDes LKM, keberadaan LKP tidak meningkat statusnya menjadi BPR LKP, akibat dari nasabah potensialnya tidak berlaih dari BUMDes LKM Sukamaju.

Dengan bunga yang jauh dari besaran bunga bank komersial, BUMDes LKM menjadi teman masyarakat desa dan terhindar dari renetenis yang hadir ketika menjelang musim panen dan musim tanam. Kehadiran BUMDes sangat bermanfaat bagi mayoritas petani di desa-desa yang memiliki BUMDes LKM.

Buku ini dilengjapi dengan seperangakt peraturan disemua level sebagai pra syarat BUMDes yang sehat. disamping itu, buku ini juga menggambarkan profil masing-masing BUMDes LKM sehingga pembaca akan dimudahkan untuk mempelajari. Sekalipun buku dengan tebal 232 halaman tetap informatif.

Hal ini kontradiktif dengan BUMDes GERBANG MAS yang diinisiatifi oleh Pemerintah Provinsi NTB sejak 2008 lalu. Keberadaan BUMDes GERBANG MAS khususnya di Sumbawa berpotensi kollpas bahkan menjadi cerita kelam yang mengikuti banyak cerita gagalnya kelembagaan koperasi di pedesaan.

Semoga buku ini memberikan inspirasi baru ditengah euforia penanggulangan kemiskinan disemua level pemerintahan.

24 April 2011

Bumi di Bawah Transaksi Kerusakan Permanen




Catatan dari Beranda untuk Hari Bumi 22 April 2011

Dulu para peneliti dan ilmuan boleh menganggap bahwa bumi memiliki kemampuan untuk mengobati dirinya sendiri. Tetapi pernyataan ini lambat laun terbantahkan, bahwa persoalan kesinambungan bumi bukan hanya urusan bumi dan mahluk diatasnya atau soal bumi memiliki energi untuk mengobati dirinya sendiri. Jauh dari persoalan itu, terdapat suprastruktur berupa, nilai-nilai, iedologi serta kekuasaan (power) yang memiliki kemampuan membawa bumi ini dalam bayangan kerusakan permanen atau setelah pada titik "equiblirium kesadaran", baru kita sadar bahwa kita sudah salah jalan, bahwa bumi yang kita pijaki ini sudah pada ambang siaga satu. mengalami kerusakan permanen akibat dari kemampuan jangka pendek para penyelenggara bumi untuk mengeksploitasi kandungannya. Akan tetapi mengamati fenomena di era reformasi ini baik di pusat kekuasaan negara maupun di daerah dengan telanjang dipentaskan bahwa penyelenggara negara/pemerintahan jauh dari kesadaran bahwa pilihan sikap dan keberpihakan kita dalam menyelenggarakan pemerintahan telah salah jalan.

Indikator paling mudah diamati yakni bisa dilihat reaksi, respon dan fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara pusat/daerah, pemberian ijin pada penguasaha (tambang, hasil bumi serta perbankan)bandingkan dengan ijin oleh kelompok masyarakat, masyarakat desa atau kelembagaan komunitas lainnya?. Kita selalu dihadapkan pada komentar penyelenggara pemerintahan, "tidak ada kelompok masyarakat yang layak untuk diberikan ijin". Penyataan itu bukanlah pernyataan penyelenggara negara akan tetapi pernyataan pengusaha besar yang meminjam "mulut" penyelenggara negara. Sudah menjadi kewajiban penyelenggara negara untuk memberdayakan, melakukan penguatan pada masyarakat kecil, masyarakat desa, asosiasi rakyat agar mereka memiliki kompetensi untuk dapat bersaing bersama pengusaha-pengusaha yang mungkin juga dibangun melalui praktek-praktek kartel dengan politik. Inilah sejatinya keberadaan negara ini untuk melayani si pemilik mandat yakni rakyat.

Pada posisi ini, rakyat sepertinya tidak punya teman dan koalisi untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang penuh dengan hambatan yang nir-akses buat masyarakat kecil, nelayan, petani madu hutan, pencari rotan, PKL serta kalangan perempuan dan janda-janda tua. Pada satu sisi proses memberikan "karpet merah" bagi ijin pengrusakan permanen bumi ini terus berlanjut.

Proses introduksi dan intervensi halus kartel dan pengsaha besar dalam rangka pengrusakan permanen bumi ini, melalui perjanjian bilateral serta peraturan perundang-Undang. Hal ini bisa dilihat dari substansi UU tentang Sumberdaya Air, UU PMA, UU Minerba, UU Perkebunan, UU Perikanan Kelautan serta banyak lagi yang membuat rakyat di pedesaan sebagai penerima dampak pertama dari kerusakan permanen bumi ini.

Ideologi Pembangunan Penyelenggara


Dengan pemetaan diatas, nampak jelas idelogi penyelenggara pemerintah saat ini di semua level. Sadar atau tidak praktek penyelengaraan pemerintahan seperti disebutkan diatas, jelas memberikan kontribusi bagi perngrusakan bumi secara permanen, pada sisi lain, rakyat kehilangan teman dalam mengarungi kehidupan yang setiap jengkal tanah di bumi mudah "digadaikan".

Semua dokumen perencanaan pembangunan dari pusat, provinsi dan daerah tersedia. Program pro rakyat diluncurkan, akan tetapi praktek dan proses eksekusi tidak seindah dokumen bahkan nyaris menjadi monumen dan program tanpa jejak. Kita diperdengarkan dengan berbagai "suara-suara diam" mengeluh, tentang jika program bantuan modal, hibah ke kelompok masyarakat, disunat dengan berbagai alasan, bahkan dengan berbagai sindiran yang membuat bantuan modal, hibah, bantaun langsung masyarakat diberikan pada oknum penyelenggara. Sikap ini jauh dari sikap memberdayakan, jadi jangankan diperkuat kelompok masyarakat agar mandiri malah dicatut serta pola pemberdayaan seperti pemadam kebakaran. Kita bisa lihat program yang dari pusat di daerah relatif tidak punya skema keberlanjutan, selesai program selesai sudah kegiatan tanpa outcame (kemamfaatan).

Sekali lagi ini soal, cara pandang, paradigma, idiologi yang kemudian termanifestasikan pada sikap, kata-kata serta pilihan tindakan. Dibutuhkan directing (arahan) yang kuat dari pimpinan, lagi-lagi soal leadership pimpinan unit kelembagaan penyelenggara. Pilihan ideologi, paradigma yang tertanam dalam birokrasi indonesia tertanam sejak sekolahan. Diperkuat dengan materi pra jabatan calon pegawai negeri sipil, lengkap sudah derita bumi ini.


(Renungan Hari Bumi I, bersambung pada renungan berikutnya, sikap penyelenggara dalam proses perijinan pengruskaan bumi permanen)

24 Februari 2011

Membuat Bekerjanya Integrasi dan Koordinasi di Sektor Pemerintah

"Koordinasi bukanlah sekedar rapat koordinasi"

Pernyataan ini telah menjadi pemahaman umum di benak aparatur pemerintah bahkan telah melkat sejak era orde baru. Hal ini terkait dengan perilaku birokrasi selama ini yang sering dilayani bukan melayani. Birokrasi berjarak dengan masyarakat, padahal birokrasi pemerintah merupakan pelayan masyarakat. Sehingga hal ini mempengaruhi semangat dan motivasi koordinasi. Nampaknya koordinasi di pemerintahkan akan terjadi jika terdapat tekanan (pressure) dari atasan atau karena memang telah menjadi mandat konstitusi. Membutuhkan terjadinya koordinasi yang berangkat dari kesadaran kritis, butuh waktu daya inovasi kepemimpinan di jajaran birokrasi. Oleh banyak kalangan mengatakan perlunya kewirausahaan birokrasi. Tata kelola birokrasi mengadopsi good coorporate governance, bahkan banyak teori pemerintahan yang mengulas tentang hal ini.

Belajar dari pengalaman bekerja di pemerintahan nampaknya membutuhkan inovasi baru, dengan menciptakan tools (alat) dan sistem untuk tumbuhnya koordinasi secara organik. Salah satunya bagaimana membangun koordinasi melalui connectivity antar SKPD dalam mendorong tumbuhnya agribisnis komoditi unggulan berbasis desa atau claster kawasan. Untuk itu dibutuhkan common platform atau common ground (pijakan bersama) dalam mendorong koordinasi untuk tumbuhnya connectivity. Pijakan bersama antar SKPD kemudian menjadi kontrak kinerja dengan Bupati/Wakil Bupati. Kontrak Kinerja dan MoU antar SKPD selanjutnay menjadi pedoman bersama yang evaluasi dilakukan setiap 3 (tiga) bulan oleh Wakil Bupati.

Tahapan selanjutnya adalah diskusi-diskusi terbatas dengan berbicara lebih detail soal kegiatan anggaran dan lokas kegiatan. Sehingga diharapkan proses ini menjadi mengerucut hingga mencapai tujuan adanya kesepatan antar SKPD.

22 Februari 2011

Musrenbang: Masihkan Menjadi Ritus Perencanaan Pembangunan Tanpa Makna?

"untuk apa kita melakukan musrenbang
jika kegiatan yang tahun lalu kami tidak tahu status dan kabarnya,
kita minta bronjong yang datang kegiatan lain"


Petikan diatas hampir tiap tahun menjadi lagu wajib masyarakat yang disampaikan di musrenbang kecamatan dilakukan. Bagi wakil SKPD yang hadir di kecamatan, dihadapkan pada posisi dilematis, serba salah bahkan salah tingkah, ketika dihujani dengan banyak pertanyaan kritis dari masyarakat. Fenomena ini cukup bagi kita menyiratkan, bahwa butuh reformasi sistem dan metodologi perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah. Namun situasi ini nampaknya seperti ritus tahunan yang kehilangan makna.

Pada sisi lain, pemerintah daerah sedang berkonsentrasi dalam mengurangi angka kemiskinan. Pengurangan kemiskinan diharapkan dapat dilakukan dengan stimulus melalui berbagai kegiatan dan program yang mengarah pada pengurangan kemiskinan. Dan kegiatan tersebut diharapkan muncul secara bottom up, melalui musrenbang desa, kecamatan dan kabupaten. Namun fakta yang terjadi bahwa 80% usulan masyarakat mengarah pada kegiatan fisik jika dibandingkan dengan program-program yang meningkatkan kapastas masyarakat miskin untuk dapat mandiri dan keluar dari jerat kemiskinan.

Pada sisi teknis kegiatan musrenbang, usulan dari desa telah diproses dari awal, akan tetapi bagaimana kita memastikan bahwa proses perencanaan di desa mendengar dan melibatkan suara masyarakat miskin, kelompok-kelompok profesi di desa, kelompok ternak P3A, simpan pinjam, pedagang bakulan, UMKM/IKM?. Musrenbang kecamatan pun dilakukan sehari, dengan peserta yang selected. Apakah mengundang peserta musrenbang juga juga merefresentaskan para wakil masyarakat dari berbagai segmen di masyarakat?. Instrumen musrenbang nampaknya haruslah adaptif dan adaptable dengan dinamika masyarakat saat ini.

Refleksi ini minimal dapat menyadarkan kita untuk dapat melakukan perubahan mendasar terhadap pola, metode sistem perencanaa pembangunan daerah.

Dari lantai 3 kantor Bupati Sumbawa
Arena Musrenbang, 22 Februari 2011

21 Februari 2011

Kemelut Kemiskinan: Antara Data Legal dan Data Legitimit

Perdebatan kemiskinan nampaknya banyak terfokus pada angka statistik kemiskinan. Angka yag dirilis oleh lembaga yang legal untuk menghitung angka kemiskinan di negara ini. Pada saat bersamaan secara kasat mata bunuh diri akibat tidak tahan terhadap beban kemiskinan dan akibat meningkatnya biaya hidup, terjadi di beberapa tempat. Fakta ini menyiratkan adanya sesuatu yang salah dalam melihat dan memberi perhatian pada masyarakat miskin.

Di banyak daerah fokusnya saat ini bagaimana menurunkan angka kemiskinan. Angka yang berimplikasi pada banyak hal, misalnya implikasi pada anggaran, jumlah proyek serta subsidi. Perdebatan dalam menyikapi kemiskinan terdapat dua pandangan, apakah pendekatannya top down; dimana pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran dan proyek untuk penannggulangan kemiskinan. Pandangan lainnya, bahwa persoalan kemiskinan harus dipecahkan oleh mereka sendiri, dimana pemerintah menjadi fasilitator dan katalisatornya.

Semua kabupaten, telah menyiapkan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemisikinan Daerah (TKPKD). Kabupaten Sumbawa pun telah membentuk TKPKD, sebagai ketua Tim yakni Wakil Bupati dengan sekretaris Kepala Bappeda. Perdebatan dan kebingungan terjadi pada data yang sepakat untuk dirujuk. Karena data kemiskinan hasil sensus BPS belumdapat menunjukkan dimana orang miskin itu berada, mengapa mereka miskin dan bagaimana mengatasi kemiskinan. Pemkab Sumbawa telah bersepakat dengan Pemrov NTB untuk menurunkan 2% angka kemiskinan dari 24,73% menjadi 22,73%.

Terkait dengan kemiskinan, bahwa proses collecting data dilakukan oleh petugas sensus BPS dengan menggunakan 14 indikator. Indikator inilah yang kemudian diyakini legal secara hukum karena telah menjadi amanat UU. Indikator 14 ini juga menjadi sumber masalah, dimana kondisi dan kategorisasi kemiskinan dinilai homogen seluruh daerah di Indonesia. Bahkan desa dengan karakteristik yang berbeda juga menggunakan indikator yang sama. Padahal banyak kasus orang atau Rumah Tangga, secara indikatif miskin karena sesuai dengan indikator namun sesungguhnya dia memiliki kerbau maupun sapi yang banyak, bahkan diatas rata-rata penduduk di desa sasaran. Metode sensus yang dilakukan oleh petugas BPS, tidak memiliki ruang untuk dilakukan triangulasi atau cek dan ricek data. Karena ruang verifikasi tidak dibuka karena pada kenyataanya sesungguhnya masyarakat desalah yang tau siapa sesungguhnya orang miskin itu berdasarkan tolak ukur yang memang diakui di desa sasaran. Untuk itulah dibutuhkan tools (perangakt) yang mampu melibatkan secara aktif masyarakat desa untuk menentukan siapa orang miskin dan bagaiman mereka miskin serta apa jenis kegiatan yang dilakukan agar orang miskin keluar dari jerat kemiskinan.

Disinilah letaknya data kemiskinan yang ada memilik "cacat bawaan". Data kemiskinan menurut BPS, berbda dengan data miskin menurut KB/BKPP, berbeda juga dnegan Jamkesmas serta data BLT dan data Raskin. Dalam situasi ini para pihak dan TKPKD harus mampu think out of box (berfikir diluar dari kebiasaan) untuk menemukan jalan kreatif dan inovatif dalam mengatasi kemiskinan.

Pada level Kab. Sumbawa, data kemiskinan rujukannya pada data RTS (rumah tangga sasaran) yang digunakan untuk data beras miskin (raskin). Dalam forum gabungan SKPD dan Pra musrenbang 21-22 Februari 2011, meski tidak secara formal namun arahan yang muncul di forum tersebut untuk sementara rujukan pada RTS ini. Pada saat bersamaan oleh Bappeda Sumbawa, pihak kecamatan diminta untuk menyampaikan data kemiskinan per desa. Jika kita konsisten, maka data kecamatan juga sama dengan data RTS tersebut. Sebab kalau berbeda, pertanyaan bagaimana indikator yang digunakan oleh kecamatan untuk mendata orang miskin tersebut atau apa metode pendataan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi "kebingungan" dalam merujuk data kemisikinan. Inilah kelemahan data pemerintah dari BPS yang dianggap syah atau legal oleh negara.

Pada sisi lain kita berharap data kemiskinan yang ada juga harus legimit artinya diakui oleh masyarakt desa. Namun yang muncul, banyak kasus data raskin maupun BLT hasil pendataan BPS justru menjadi sumber kecumburuan sosial akibat subsidi masyarakat miskin. Jika data BPS atau BLT/Raskin tersebut legitimit maka tidak akan ada riak-riak sosial dalam masyarakat dalam menanggapi bantaun kemiskinan.

Salah satu jalan keluar yang saya usulkan yakni, perlunya Analisis Kemisikinan Partispatif (AKP), dimana masyarakat desa sebagai pelaku dan secara pleno mendiskusikan dan merekapitulasi siapa orang miskin tersebut di level desa. Dengan demikian dibutuhkan pendekatan penaggulangan dilevel desa. Selama ini SKPD-SKPD menggunakan kacanata sektoral bahkan "topdown" dalam melihat kemiskinan. Bahkan penanggulangannya seperti kemelut, dimana antar SKPD tidak saling kerjasama dan tidak terkoneksi satu dengan yang lain.