24 April 2011

Bumi di Bawah Transaksi Kerusakan Permanen




Catatan dari Beranda untuk Hari Bumi 22 April 2011

Dulu para peneliti dan ilmuan boleh menganggap bahwa bumi memiliki kemampuan untuk mengobati dirinya sendiri. Tetapi pernyataan ini lambat laun terbantahkan, bahwa persoalan kesinambungan bumi bukan hanya urusan bumi dan mahluk diatasnya atau soal bumi memiliki energi untuk mengobati dirinya sendiri. Jauh dari persoalan itu, terdapat suprastruktur berupa, nilai-nilai, iedologi serta kekuasaan (power) yang memiliki kemampuan membawa bumi ini dalam bayangan kerusakan permanen atau setelah pada titik "equiblirium kesadaran", baru kita sadar bahwa kita sudah salah jalan, bahwa bumi yang kita pijaki ini sudah pada ambang siaga satu. mengalami kerusakan permanen akibat dari kemampuan jangka pendek para penyelenggara bumi untuk mengeksploitasi kandungannya. Akan tetapi mengamati fenomena di era reformasi ini baik di pusat kekuasaan negara maupun di daerah dengan telanjang dipentaskan bahwa penyelenggara negara/pemerintahan jauh dari kesadaran bahwa pilihan sikap dan keberpihakan kita dalam menyelenggarakan pemerintahan telah salah jalan.

Indikator paling mudah diamati yakni bisa dilihat reaksi, respon dan fasilitas yang diberikan oleh penyelenggara pusat/daerah, pemberian ijin pada penguasaha (tambang, hasil bumi serta perbankan)bandingkan dengan ijin oleh kelompok masyarakat, masyarakat desa atau kelembagaan komunitas lainnya?. Kita selalu dihadapkan pada komentar penyelenggara pemerintahan, "tidak ada kelompok masyarakat yang layak untuk diberikan ijin". Penyataan itu bukanlah pernyataan penyelenggara negara akan tetapi pernyataan pengusaha besar yang meminjam "mulut" penyelenggara negara. Sudah menjadi kewajiban penyelenggara negara untuk memberdayakan, melakukan penguatan pada masyarakat kecil, masyarakat desa, asosiasi rakyat agar mereka memiliki kompetensi untuk dapat bersaing bersama pengusaha-pengusaha yang mungkin juga dibangun melalui praktek-praktek kartel dengan politik. Inilah sejatinya keberadaan negara ini untuk melayani si pemilik mandat yakni rakyat.

Pada posisi ini, rakyat sepertinya tidak punya teman dan koalisi untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang penuh dengan hambatan yang nir-akses buat masyarakat kecil, nelayan, petani madu hutan, pencari rotan, PKL serta kalangan perempuan dan janda-janda tua. Pada satu sisi proses memberikan "karpet merah" bagi ijin pengrusakan permanen bumi ini terus berlanjut.

Proses introduksi dan intervensi halus kartel dan pengsaha besar dalam rangka pengrusakan permanen bumi ini, melalui perjanjian bilateral serta peraturan perundang-Undang. Hal ini bisa dilihat dari substansi UU tentang Sumberdaya Air, UU PMA, UU Minerba, UU Perkebunan, UU Perikanan Kelautan serta banyak lagi yang membuat rakyat di pedesaan sebagai penerima dampak pertama dari kerusakan permanen bumi ini.

Ideologi Pembangunan Penyelenggara


Dengan pemetaan diatas, nampak jelas idelogi penyelenggara pemerintah saat ini di semua level. Sadar atau tidak praktek penyelengaraan pemerintahan seperti disebutkan diatas, jelas memberikan kontribusi bagi perngrusakan bumi secara permanen, pada sisi lain, rakyat kehilangan teman dalam mengarungi kehidupan yang setiap jengkal tanah di bumi mudah "digadaikan".

Semua dokumen perencanaan pembangunan dari pusat, provinsi dan daerah tersedia. Program pro rakyat diluncurkan, akan tetapi praktek dan proses eksekusi tidak seindah dokumen bahkan nyaris menjadi monumen dan program tanpa jejak. Kita diperdengarkan dengan berbagai "suara-suara diam" mengeluh, tentang jika program bantuan modal, hibah ke kelompok masyarakat, disunat dengan berbagai alasan, bahkan dengan berbagai sindiran yang membuat bantuan modal, hibah, bantaun langsung masyarakat diberikan pada oknum penyelenggara. Sikap ini jauh dari sikap memberdayakan, jadi jangankan diperkuat kelompok masyarakat agar mandiri malah dicatut serta pola pemberdayaan seperti pemadam kebakaran. Kita bisa lihat program yang dari pusat di daerah relatif tidak punya skema keberlanjutan, selesai program selesai sudah kegiatan tanpa outcame (kemamfaatan).

Sekali lagi ini soal, cara pandang, paradigma, idiologi yang kemudian termanifestasikan pada sikap, kata-kata serta pilihan tindakan. Dibutuhkan directing (arahan) yang kuat dari pimpinan, lagi-lagi soal leadership pimpinan unit kelembagaan penyelenggara. Pilihan ideologi, paradigma yang tertanam dalam birokrasi indonesia tertanam sejak sekolahan. Diperkuat dengan materi pra jabatan calon pegawai negeri sipil, lengkap sudah derita bumi ini.


(Renungan Hari Bumi I, bersambung pada renungan berikutnya, sikap penyelenggara dalam proses perijinan pengruskaan bumi permanen)

Tidak ada komentar: