3 Juni 2013

PESAN DARI KOREA UNTUK HUTAN KITA (Bagian - 2 habis)

Sepanjang jalan di beberapa kabupaten yang dikunjungi di Korea, kondisi hutan sangat baik, bahkan tidak kelihatan perambahan, seperti layaknya di Indonesia. Hutan Pinus ciri khas negara dengan 4 (empat) musim ini menjadi pemandangan dominan. Empat musim itu yakni musim dingin, musim semi, musim panas dan musim gugur. Kini negeri Ginseng ini memantapkan diri bukan hanya sebagai negara maju tetapi memiliki menejemen hutan yang layak untuk dipelajari. Berikut laporan bagian Kedua yang dikirim oleh Julmansyah Kepala KPH Batulanteh Sumbawa dari Seoul Korea Selatan. *** Nilai Hutan untuk Publik Hasil dari rehabilitasi hutan di Korea selama 40 tahun nampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat Korea saat ini. Rehabilitasi hutan di Korea dimulai sejak 1970 dibawah kepemimpinan Presiden Park Jung Hee, dengan percobaan rehabilitasi 1960-an. Bahkan sejak 1988 Pemerintah Korea bertekad untuk menekan deforestasi menjadi 0 (nol), dan itu menjadi kenyataan. Menurut Dr. Kyeong-hak Lee Kepala Pusat Perubahan Iklim pada Korea Forest Research Institute, kerusakan hutan sangat rendah 0,1% setiap tahun, itupun diakibatkan oleh infrastruktur berupa jalan dan infrastruktur pembangunan lainnya. Khusus keberhasilan Korea melakukan rehabilitasi hutannya, telah diakui oleh dunia dengan berbagai penghargaan dunia. Pembangunan kehutanan di Korea tidak semata-mata untuk produksi kayu akan tetapi untuk nilai-nilai lain dari ekosistem hutan yang jauh lebih bernilai ketimbang kayu. Nilai ekosistem hutan itu misalnya nilai air yang dihasilkan oleh hutan, kemampuan hutan melakukan kontrol erosi tanah, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon di udara (emisi) serta hutan untuk penyediaan ruang publik bahkan hutan untuk terapy kesehatan bagi ibu hamil dan anak-anak. Menurut Dr. Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service, komitmen Pemerintah Korea terkait dengan hutan untuk rekreasi dan pelayanan untuk publik tertuang dalam Rencana Kehutanan Nasional Korea 2008 – 2017. Dimana implementasinya hutan menyediakan ruang untuk meningkatkan kualitas hidup lebih baik. Pelayanan yang diberikan oleh hutan di Korea, berbagai program yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan setempat. Program-program tersebut misalnya hutan untuk ibu hamil (prenatal programme), hutan untuk anak-anak/childhood (Forest Kindergarten), Forest for Adolescence (untuk camping ground), forest for Adulthood berupa wahana rekreasi dan jalur sepeda gunung. Seperti di Kabupaten Hongcheon berada di Provinsi Kangwon, bagian Utara Kota Seoul, satu dari 7 (tujuh) wilayah hutan terbesar di Korea Selatan, saat dikunjungi membuktikan bahwa betapa seriusnya pemerintah Korea hingga di level kabupaten. Luas hutan di Kabupaten Hongcheon sebesar 118.173 Ha atau sepertiga dari luas hutan di Kab. Sumbawa. Di Kabupaten ini tersedia hutan seperti yang disebutkan oleh Dr. Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service. Berbagai fisilitas dalam kawasan hutan untuk menunjang kebutuhan rekreasi warga di kawasan hutan. Dari rumah bagi pengunjung (guest house), tempat berkemah, ruang pementasan outdoor, koleksi tanaman lokal serta tanaman herbal Korea dll. Semua fasilitas ini dikelola oleh unit khusus, sekaligus menjadi sumber pendapatan. Di tempat ini kita juga dapat mempelajari berbagai herbal Korea. Jika ditotal keuntungan atau manfaat nilai ekosistem hutan di Korea diperkirakan 73 Trilyun Won (Won mata uang Korea). Nilai hutan ini yang di Indonesia banyak tidak dihitung, pahal justru nilai bukan kayu yang seperti ini paling banyak. Sementara nilai kayu dalam satu kawasan hutan hanya maksimal 7% dari total nilai keseluruhan kawasan tersebut. Hutan Sumber Keanekaragaman Pangan Gaya hidup masyarakat Korea sangat dekat dengan berbagai tanaman lokal serta rempah-rempah lokal. Setiap makan masyarakat Korea lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran organik, yang diolah secara mentah serta di masak yang disebut dengan Kimchi. Pola makan seperti ini sepertinya telah dipikirkan oleh pemerintah setempat, dimana sumber sayur-sayuran, jamur-jamuran serta rempah-rempah lokal bersumber dari kawasan hutan dalam bentuk agroforestry dalam bahasa Indonesia disebut dengan wanatani. Masyarakat disekitar hutan diberikan ruang oleh pemerintah setempat untuk mengembangan agroforestry dengan menanam herbal dan rempat seperti Ginseng, jamur dll. Keuntungan Negara 4 musim ini, menghasilkan sayuran rempah yang tidak dapat tumbuh di negara tropis seperti Indonesia yang hanya mengenal dua musim. Sebagai negara maju, Korea telah berkembang pesat bukan hanya teknologi komunikasi dengan munculnya Samsung yang merajai dunia gadget dan handphone. Tetapi mereka mampu mengekspolrasi kekayaan alam hutan menjadi berbagai produk kesehatan. Menurut Prof. Dr. Sung Kii Kang dari Korea Forest Service banyaknya jenis kayu 1.300 species tanaman total Korea. Semak sekitar 3.600 jenis dan tanaman kayu yang direkomendasi jenisnya sebanyak 78 jenis. Potensi jenis tanaman ini yang kemudian menjadi sumber makanan di Korea. Tidak heran setiap makanan Korea sayuran-sayuran (Kimchi) selalu mendominasi. Pelajaran ini menarik dipelajari sebagai bekal untuk ketahanan pangan yang berasal hutan di Sumbawa serta di Indonesia** (Julmansyah)

27 Mei 2013

Pesan dari Korea untuk Hutan Kita (1)

Laporan Perjalanan dari Korea Selatan (Bagian Pertama) Surat Director of Global Forest Resources and Trade Division Korea Forest Service (KFS) Ref. No, KL-13-044 tentang Program Pengembangan Kapasitas KPH/REDD+ ("FMU/REDD+ Capacity Building Proqram") pada tanggal 20 – 24 Mei 2013 di Forest Training Institute, Seoul Korea, menjadi dasar Kementerian Kehutanan mengirima beberapa kepala KPH se Indonesia. Kementerian Kehutanan melalui Ditjen Planologi menetapkan 8 (delapan) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Model di seluruh Indonesia sebagai peserta program. Delapan KPH Model tersebut antara lain: KPH Tasik Besar Serkap Provinsi Riau, KPH Kampar Kab. Kampar Riau, KPH Tebing Tinggi Riau, KPH Bali Timur Bali, KPH Kapuas Kab. Kapuas Kalimantan Tengah, KPH Batulanteh Kab. Sumbawa NTB, KPH Gularaya Provinsi Sulawesi Tenggara dan KPH Kota Agung Utara Kab. Tanggamus Lampung. Kegiatan kali ini untuk membekali para kepala KPH dalam konteks pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ (Reduce Emision from Degradation and Deforestation). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah bertekad bahwa pengelolaan hutan harus dikelola oleh organisasi di tingkat tapak atau KPH. Berbagai program Kementerian Kehutanan dengan parapihak untuk meningkatkan kapasitas pelaku pengelolaan hutan, termasuk dengan Korea Forest Service Korea Selatan. Berikut Laporan Julmansyah Kepala KPH Batulanteh Sumbawa dari Seoul Korea Selatan. *** Selama 5 (lima) hari proses pelatihan, menggunakan metode diskusi dan kunjungan lapangan. Proses in class dengan materi Forest Policies and restoration of Korea serta materi Indonesia – Republik of Korea REDD+ Collaboration Project. Hari pertama berlangsung di Kantor Korea Forest Service di Provinsi Kyung Gi, sekitar 50 menit dari Kota Seoul ke arah Utara. Berikutnya peserta diskusi di kantor Korea Forest Research Institute (KFRI), yang berada di pinggir Kota Seoul. Kemudian kunjungan ke Hongcheon National Forest Office. Kantor ini ibarat dinas kehutanan kabupaten kalau di Indonesia. Kabupaten Hongcheon berada di Provinsi Kangwon, bagian Utara Kota Seoul, dengan jarak perjalanan 1 jam 30 menit. Peserta kemudian mengunjungi SFM Model Forest Maehwasan, yang masih di wilayah Kabupaten Hongcheon. Rehabilitasi Hutan di Korea Sejak 1910 sampai 1945-an, Korea dijajah oleh Jepang. Penjajahan Jepang ini sangat berdampak pada sektor kehutanan di Korea. Dimana Jepang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya hutan Korea terutama kayu. Kerusakan hutan di Korea ini membuat hutan dan gunung gundul. Selepas dari regim Jepang, Korea mulai menata diri di sektor Kehutanan. Proses transisi berlangsung secara gradual dan konsisten bahkan bisa dikatakan, disiplin kata kuncinya. Transisi pembangunan kehutanan dalam kebijakan kehutanan Korea yang di mulai 1960 – 1970-an sebagai fase rehabilitasi. Kemudian 1970 – 1080-an sebagai fase re-vegetasi. Tahun 1990-an sebagai fase pengembangan sumberdaya hutan dan tahun 2000-an merupakan fase pengelolaan sumberdya hutan secara berkelanjutan (SFM/Sustainable Forest Management). Fase awal Korea, merupakan kerja keras karena membangun dari bekas jajahan Jepang. Fase pertama pembangunan kehutanan Korea yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Park Jung Hee, tepatnya 1976 yang ditandai dengan kegiatan penanaman di Daegwallyeong. Kesuksesan ini kemudian menjadi momentum Korea untuk secara bersungguh-sungguh membangun hutannya. Adopsi kesukseskan rehabilitasi hutan Korea kemudian dipayungi dengan kebijakan kehutanan. Fase keduanya (1988-1997), tujuan pembangun yang tertuang dalam kebijakan Korea yakni harmonisasi manfaat ekonomi dengan kepentingan publik. Beberapa capaian antara lain, mampu membangun hutan 3,03 juta Ha hingga tahun ini. Bahkan hutan dapat menjadi sumber pendapatan bagi desa-desa di pinggiran hutan. Dimana tidak ada lagi masyarakat desa di Korea yang merambah hutan dan melakukan peladangan berpindah, seperti yang dijelaskan oleh Jeong Yongho Technical Advisor Korea Forest Research Institut, Korea Forest Service. Fase 1998 – 2007, rencana kehutanan Korea, bertujuan pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari, meningkatkan nilai sumberdaya hutan serta mempromosikan nilai hutan untuk kesehatan dan kenyamanan hidup. Rencana kehutanan Korea untuk tahun 2008 – 2017, dengan tema besar Sustainable Green Welfare Nation. Dimana pada fase ini fungsi hutan sebagai penyerap carbon (carbon sink) menjadi tujuan utama ditengah isu perubahan iklim. Bahkan tujuan terakhir dari rencana kehutanan nasional Korea yakni penguatan kerjasama internasional untuk pembangunan sumberdaya hutan dan konservasi hutan global. Pada tujuan ini kerjasama ASEAN-Korea terbentuk dalam satu aliansi (AFoCO). Secara khusus pemerintah Korea mengalokasikan hutan bagi anak-anak, sebagai forest recreation dalam menjawab kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan bahkan hutan tempat untuk terapy. Keberhasilan pembangunan hutan di Korea ini, mampu memberikan keuntungan bagi public berupa penyediaan air bersih, air yang berkualitas, kemampuan hutan mengontrol erosi, tempat rekreasi serta memberikan tepat bagi kehidupan liar. Jika ditotal keuntungan atau manfaat hutan ini diperkirakan 73 Trilyun Won (Won mata uang Korea). Nilai hutan ini yang di Indonesia banyak tidak dihitung, pahal justru nilai bukan kayu yang seperti ini paling banyak. Sementara nilai kayu dalam satu kawasan hutan hanya maksimal 7% dari total nilai keseluruhan kawasan tersebut. Bagaimana jika hutan rusak akibat lemahnya pengawasan serta komitmen pemerintah, maka kita akan kehilangan manfaat langsung hutan berupa, air bersih yang berkualitas, madu sebagai bagian dari kehidupan liar, dll. Sehingga pesan dari Korea ini, sudah saatnya kita serius dalam membangun hutan serta memberikan diversifikasi manfaat hutan secara lestari. Terutama pengelolaan oleh KPH (Julmansyah)**